Assalamu'alaikum Wr. Wb...
Setelah sekian lama menghilang dari padepokan, kini penulis amatir yang otaknya agak kenthir, kembali hadir untuk mengguncang dunia persilatan membuat skuel cerita dari 'Mission of The-Les Kebes 1 Dan Mission of The-Les Kebes 2Dalam kembalinya Jaka Tarub Djacka Artub ini, maka arektuban.com akan kembali merilis ( cieeeee... hahaha) sebuah skuel cerita Mission of The-Les Kebes 3.
PERHATIAN!
Cerita di bawah ini hanyalah fiktif belaka.
Jadi, semua cerita yang dikemas dalam Mission of The-Les Kebes ini hanya bersumber dari imajinasi otak si penulis yang lagi kesurupan.
Mohon maaf, cerita dibawah ini hanya fiksi, maka apa bila ada kesamaan kejadian, semua itu hanyalah kebetulan belaka. Tidak ada maksud untuk menyinggung suatu instansi maupun individu tertentu.
Terima kasih.
Sinopsis Cerita:
Latifa, seorang gadis desa, ia mendapat tugas dari sang Nenek untuk mencari seorang kapten perang yang pernah menyelamatkannya di waktu dulu. Di tengah badai hujan ia rela mendorong motor yang ditumpangi bersama sahabatnya, karena mogok di tengah perjalanan.
Perjuangannya menemukan titik terang ketika tanpa sengaja dirinya bertemu dengan dua rekan orang yang dicarinya. Namun sesuatu terjadi di luar dugaan. Orang-orang yang dahulunya pahlawan bangsa, kini nasibnya sungguh memprihatinkan.
Baim, seorang pemuda yang juga ditugaskan oleh Pakdhe-nya untuk mencari keberadaan Latifa dan Neneknya, Mak Rini, justru membuat perjalanan kisah ini menjadi rumit.
Nah, seperti apa kisahnya?
Yukk, kita intip Latifa yang basah-basah kehujanan. :-D
MISSION OF THE-LES KEBES
(Misi Basah Kuyup)
Bag.1
(Misi Basah Kuyup)
Bag.1
Hujan semalam masih menyisakan kabut tebal yang menutup indahnya mentari pagi. Kicau burung bersahutan di antara ranting pepohonan. Kupu-kupu masih hinggap pada kuncup kembang, seakan ia enggan mengepakkan sayap melanglang menembus kabut pagi.
Seorang gadis dewasa duduk termangu di beranda rumah sederhana. Ia menatap lekuk-lekuk pematang sahah yang berjajar mengitari perbukitan yang tidak jauh dari tempat ia tinggal bersama neneknya. Sesekali gadis itu menyeka butiran bening yang menetes membawahi wajah cantiknya.
"Masuk rumah, Nak." Serak suara seorang wanita tua memanggil cucunya. "Udaranya masih dingin, nanti kamu sakit, lho." Lanjut wanita tua itu dari dalam rumah sederhanya. Gadis yang sedang duduk termangu itu pun dengan cepat menyeka sisa butir air mata ketika ia mendengar langkah kaki mendekatinya. Ia berbalik badan, dan mengulas senyum pada seorang wanita renta yang telah merawat dirinya sejak kepergian kedua orang tuanya. Namun kesedihan gadis itu masih tetap nampak jelas dari raut wajahnya.
"Apa kamu sedang mengingat-ingat sesuatu?" Tanya sang nenek dengan lembut.
"Iya, Nek. Setiap hujan mengguyur bumi, Tifa ingat ayah dan ibu. Di tengah hujan, di depan mata Tifa, ayah dan ibu disiksa hingga meninggal oleh para pemberontak itu." Dengan terbata, gadis itu menceritakan peristiwa menyakitkan itu kepada neneknya.
"Sabar ya, Tifa. Pasti ayah dan ibumu akan sedih jika melihat kamu selalu menangis. Kamu harus kuat." Hibur neneknya, "Tifa masih ingat, 'kan? Di tengah hujan pula, Tifa dengan lantang ikut berjuang melawan para pemberontak itu?" Lanjut sang nenek memberi semangat.
Pagi masih buta. Mak Rini dan cucunya, Latifa, sedang me- ngenang kekejaman para pemberontak yang telah menewaskan orang-orang yang dicintainya. Namun semangatnya kembali bangkit ketika mereka ingat perjuangannya melawan pemberontak itu. Saat itu, keadaan sangat genting. Di tengah hujan, tempat pengungsian dihancur-leburkan oleh musuh. Pasukan perdamaian yang bertugas di tempat itu kewalahan melawan gempuran musuh, dan banyak yang gugur. Beruntung saja bala tentara yang dipimpin oleh kapten Djack segera datang memberi bantuan. Semangat juang sisa pasukan pun kembali berkobar dalam menumpas kejahatan. Hingga akhirnya pasukan musuh terdesak dan dapat dihancurkan.
"O'iya, Nek. Kapten Djack, Letnan Kay, Sersan KTnoz dan juga dokter Lisa serta dokter Agus, sekarang ini tinggalnya di mana ya?" Tiba-tiba Latifa menanyakan keberadaan orang-orang yang dulu telah menyelamatkannya.
"Nenek juga tidak tahu. Semenjak keadaan kembali aman, dan mereka juga telah kembali ke markasnya, saat itu nenek tak lagi mendengar kabar tentang orang-orang yang telah berjasa pada kita itu." Jawab Mak Rini penuh kenangan. Tanpa disadarinya, air mata wanita itu jatuh menetes pada keriput wajahnya. Dengan lembut, Latifa mengusap air mata neneknya dan segera memeluk wanita yang telah membesarkan dirinya. **
Hari semakin siang. Namun cakrawala masih berselimut awan kelabu. Hanya sesekali matahari menampakkan redup cahayanya di balik rerimbun mendung.
Seperti hari-hari biasanya, Latifa selalu mengerjakan pekerjaan rumah membantu sang nenek. Latifa tumbuh menjadi anak gadis yang rajin. Ia tak enggan mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mengingat dirinya kini hanya tinggal bersama neneknya yang sudah tua. Hanya berdua mereka tinggal di rumah sederhana itu.
"TIINN.. TIIINNN...!!!" Suara klakson motor butut memberi isyarat pada Latifa untuk segera berangkat ke kota dengan maksud ingin menemui seorang juragan sayur yang seminggu lalu datang ke kampungnya dan akan memborong semua sayuran yang ditanam oleh para penduduk desa, terutama Mak Rini dan Latifa.
Salman, pemuda desa yang pendiam namun suka mencuri perhatian secara diam-diam itu selalu siap mengantar Latifa kemana saja dengan imbalan tangki motornya terisi penuh. Latifa pun tak pernah keberatan dengan syarat itu. Dengan terburu-buru, Latifa segera pamit sama neneknya setelah ia merapikan pakaian.
"Ayo, kita berangkat." Kata Latifa sembari mendekati Salman. "Woii..!! Domblong aja! Nggak pernah lihat orang cantik ya?" Bentak Latifa setelah ajakannya tak dihiraukan oleh Salman. Salman tergagap kaget dari melongonya melihat penampilan Latifa.
"I, iya, tuan putri." Jawab Salman sambil menghidupkan motor bututnya.
Perlahan Salman melajukan kendaraannya yang sudah tidak bisa melaju dengan kencang. Sesekali ia merasakan sesuatu yang mengganjal di punggungnya. Namun Latifa tak menghiraukan hal itu, meski Salman selalu menggerak-gerakkan punggung. Semakin lama, Salman merasa tak dapat menahan rasa yang menusuk di punggungnya. Punggung yang terasa sakit karena tertusuk oleh aksesoris tas yang ada di pangkuan Latifa. Salman segera menepikan motornya dan berhenti di tepi jalan.
"Kenapa berhenti? Mau bilang kehabisan bensin lagi? Dasar!" gerutu Latifa.
"Tas-nya belum selesai dijahit ya?" Salman membalas gerutuan Latifa sambil memegangi punggung. "Lain kali kalau jahit tas itu diselesaikan dulu, baru dibawa. Jangan dibiarkan nyangkut di tas, jarumnya."
"Enak aja kalau ngomong!" balas Latifa dengan sengit. "Ini tuch tas baru!"
Dalam ketegangan antara kedua belah pihak, seorang lelaki setengah baya datang menghampiri mereka. "Kenapa bertengkar di jalan, Nak?" Tanya lelaki itu sambil meletakkan karung lusuh yang dibawanya, ke tanah.
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar