Cerita di bawah ini hanya fiktif..
Mohon maaf apa bila ada kesamaan nama, tempat dan kejadian...
Rembulan masih menampakkan kilau redup cahayanya di penghujung malam. Terlelap semua kehidupan yang ada di dunia dan cakrawala luas. Kecuali, bias cahaya rembulan yang memintalkan benang-benang kilau redupnya menyinari alam persada. Sepoi angin malam menjalar menerobos di keheningan.
Di antara lajur-lajur rel kereta, nampak seorang gadis berjalan mengikuti arah jalur rel kereta api dengan langkah gontai. Ia tak lagi memperdulikan sapaan orang-orang yang duduk-duduk di pinggir jalan dekat stasiun kereta itu.
Baginya, tak satu pun manusia di dunia ini yang pantas untuk di perdulikan. Karena saat ini tak ada satu pun juga orang-orang yang mau memperdulikannya,. Kecuali orang-orang di kampungnya.
Ratna, sapaan gadis itu, sejak kecil ia telah hidup menderita. Sejak dia masih bayi, tak pernah di rasakannya kasih sayang orang tua, kecuali almarhum kakek dan neneknya yang telah merawat dirinya dengan penuh kasih sayang. Namun kakeknya meninggal saat Ratna masih berusia 10tahun, dan dua tahun kemudian saat Ratna berusia 12 tahun, neneknya juga meninggal karena sakit dan tak ada biaya untuk berobat.
Sejak kepergian kakek dan neneknya itu, Ratna tak tau lagi harus kemana ia menentukan arah hidupnya. Kedua orang tuanya pun ia tak pernah tau di mana berada. Sejak dirinya berusia satu tahun, ayah dan ibunya meninggalkan Ratna sendirian di dalam rumah.
Beruntung, saat itu ada seorang warga yang mendengar tangisan Ratna dari dalam rumah. Namun setelah di tengok dalam rumah, hanya ada Ratna seorang diri di atas ranjang dan di sampingnya terdapat selembar kertas. Orang yang mengetahui itu segera menggendong Ratna, dan membawanya ke rumah kakek dan nenek Ratna yang ada di kampung sebelah. Orang itu menyerahkan Ratna ke kakek neneknya berserta selembar kertas yang bertuliskan,
"Ma'afkan ayah dan ibu, Nak. Dengan terpaksa ayah dan ibu meninggalkanmu seorang diri, karena ayah dan ibu tak mau hidup lebih menderita karena kehadiranmu. Sejak ibu mengandungmu, ibu sudah sering sakit-sakitan. Dan semenjak kamu lahir, ayahmu di pecat dari tempatnya bekerja. Hingga kamu berusia satu tahun, kehidupan keluarga semakin memprihatinkan. Kami menganggap kamu lah anak pembawa sial.
Dan malam ini, ayah dan ibu ingin merubah nasib tanpa dirimu ada bersama kami. Ku harap kamu bisa menjalani hidup sendiri tanpa ada kami di sampingmu.
Sekali lagi, maafkan ayah dan ibumu... "
*********
Karena itulah para tetangga selalu mengijinkan Ratna untuk ikut membantu bekerja di sawah mereka.
Hari berganti, minggu berlalu, bulan pun berganti tahun.
Kini Ratna telah berusia enam belas tahun. Setelah tamat SMP, Ratna memang tak melanjutkan sekolahnya lagi, dan ia berniat untuk mengadu nasib di kota. Baginya dengan bekal tamatan SMP, dia sudah cukup. Ratna sudah bersyukur bisa lulus sekolah hingga tamat SMP dengan bantuan para tetangga.
Maka karena dirinya tak mau menjadi beban hidup orang lain lagi, Ratna bertekad mencari kerja di kota, sekaligus ingin mencari keberadaan kedua orang tuanya.
Dengan berbekal uang seadanya, Ratna berangkat ke kota meninggalkan kampung halaman. Meski tak ada tujuan yang pasti, Ratna tetap pergi mengikuti tekad hati walau harus melawan kejamnya kehidupan di kota, ia tak perduli.
**********
Di bawah temaramnya lampu di terminal kota, Ratna untuk pertama kali menjejakkan kaki di kehidupan kota.Di tengah lalu lalang pedagang asongan dan para calo penawar jasa di terminal, Ratna merasa kebingungan. Ia tak tau lagi kemana harus menentukan arah.
Di bawah tiang lampu mercury, Ratna duduk bersandar pada sebuah kursi dengan memangku tas berisi pakaian dan ijazah, serta selembar kertas surat yang di tinggalkan ayah ibunya sewaktu dirinya di tinggal pergi saat masih bayi.
Dalam kebingungan menantang kehidupan, seorang pria berbadan tegap datang menghampiri Ratna yang sedang duduk sendirian.
"Adik lagi menunggu keluarga,, atau lagi nunggu teman..?" sebuah sapaan dari pria itu mengagetkan Ratna.
"Saya tidak mempunyai siapa-siapa.. " jawaban polos Ratna membuat pria itu semakin penasaran dan membuat ingin bertanya lebih jauh.
Setelah bertanya sana sini, pria itu mengajak Ratna untuk naik taksi. Ratna mengikuti saja ajakan pria yang tak di kenalnya itu, dan merasa lega karena ada orang yang menolongnya dan ingin di mencarikan pekerjaan untuknya.
Tepat pukul 22:00, sampailah Ratna dan pria itu di sebuah rumah mewah di tengah-tengah kota besar, setelah sebelumnya diajak makan malam di sebuah restoran.
Ratna begitu senang karena malam itu dia bisa tidur di dalam rumah mewah.
Tidak ada kecurigaan apa-apa dalam hati Ratna, karena pria yang menolongnya terlihat sangat baik dan sopan kepada orang lain, termasuk pada pelayan restoran tempat mereka makan malam.
"Di rumah sebesar ini bapak tinggal sendirian..??
Anak dan istri bapak kemana..??" Ratna meberanikan diri bertanya pada pria itu karena saat mereka sampai di rumah itu tak ada seorang pun yang menyambut kedatangan mereka.
"Bapak memang tinggal sendirian di rumah ini.. bapak tidak punya anak, dan istri bapak pergi meninggalkan bapak meninggal beberapa bulan yang lalu karena penyakit yang di deritanya.." Pria itu menjelaskan keadaannya pada Ratna dengan nada sedih, seakan-akan ada beban dalam hidup.
Ratna hanya diam mendengar pengakuan pria itu. Ia ingat dengan keadaan hidupnya sendiri yang tak punya siapa-siapa lagi.
Berhari-hari Ratna tinggal di rumah itu, ia semakin senang dan merasa nyaman karena pak Herman, pria yang menolongnya sangat baik dan sering mengajaknya makan di restoran-restoran mewah dan jalan-jalan di berbagai mall di kota.
Pak Herman sepertinya sudah menganggap Ratna seperti keluarga sendiri. Bahkan kepada para warga sekitar juga mengatakan kalau Ratna adalah keponakannya dari kampung yang ingin mencari pekerjaan di kota.
*******
Malam itu, seperti pada malam-malam sebelumnya, Ratna menunggu kedatangan pak Herman sambil nonton tv. Tepat pukul 20:00, suara ketukan pintu terdengar oleh Ratna yang sedang asyik melihat tayangan di tv
Ratna langsung bangkit dan berjalan untuk melihat siapa yang datang. Setelah pintu terbuka, ternyata yang datang memang pak Herman dengan membawa sebuah bungkusan makanan. Setelah menyerahkan bungkusan makanan pada Ratna dan menyuruh Ratna untuk makan malam sendiri. Pak Herman langsung masuk kamar dan kelihatannya sedang kecapekan.
Dengan berlari-lari kecil, Ratna segera menuju ke ruang makan. Baru separuh makanan yang tertelan, tiba-tiba kepalanya terasa pusing dan berat. Pandangan mata Ratna semakin kabur dan ia tertidur.
Dari balik pintu, pak Herman yang sedari tadi mengamati gerak gerik Ratna, segera menghampiri Ratna. Dan setelah memastikan Ratna tak sadarkan diri, pak Herman segera membopong Ratna ke dalam kamar.
Pagi hari setelah Ratna tersadar dan terbangun dari tidurnya, betapa ia kaget, menjerit dan menangis histeris dengan apa yang telah dia alami.
"Maafkan bapak ya Rat.. tadi malm bapak hilaf.. bapak telah merusak masa depanmu.. Semenjak kepergian istri bapak, bapak merasa kesepian... Dan entah setan apa yang merasuki tubuh bapak, tadi malam bapak telah mmbuat hidupmu hancur.." pak Herman meminta maaf pada Ratna dan berpura-pura menyesali perbuatannya untuk menghibur Ratna yang masih menangis.
Tanpa berkata apa pun, Ratna menggulung tubuhnya dengan selimut dan berlari menuju kamar mandi sambil menangis. Di dalam kamar mandi, Ratna terduduk dan air matanya mengucur deras. Air mata penyesalan, air mata kebencian, mengalir bersama derasnya guyuran air yang keluar dari shower di kamar mandi..
Berjam-jam Ratna mengguyur tubuhnya dengar air sambil menangis untuk menghilangkan bekas noda yang ada di tubuhnya. Namun seakan noda itu telah melekat dan tak kan bisa luntur dan hilang oleh guyuran air ..
"Makanan serta pakaian yang aku belikan untukmu, semua tak ada yang bisa kamu terima dengan cuma-cuma Ratna.. Semua harus di bayar..." pak Herman tersenyum puas dan berkata dalam hati karena niatnya untuk mengerjai Ratna sudah terlampiaskan.
Pak Herman bangkit dari ranjang, dan ingin melihat Ratna ke kamar mandi . Namun Saat pak Herman keluar dari kamar, di lihatnya pintu depan terbuka, ia mencari Ratna ke seluruh ruangan rumah tapi ternyata Ratna sudah tak ada.
*****
Mendung menyelimuti malam, bergelayut membuat redup sinar rembulan. Ratna berjalan menyusuri jalanan kota dengan segala kehacuran perasaan. Ia tak tau lagi harus kemana .. Seharian di ikutinya langkah kaki kemanapun arah yang di tuju..Dengan langkah gontai, ia berjalan menyusuri rel kereta api. Ia teringat dengan orang-orang di kampungnya .. Air mata meleleh membasahi wajah polosnya. Ratna menyesal, seandainya dia mau menuruti nasehat para tetangga untuk tetap tinggal di kampung, pasti kejadian ini tak akan menimpanya.
Namun nasi sudah menjadi bubur.. Kini hanya rasa penyesalan yang berkecamuk dalam hati.
Ratna benar-benar menyesali karena tak mensyukuri nikmat dari Allah.
"Ya Allah... Ampuni dosa hamba yang tak mensyukuri nikmat yang Engkau berikan.. Seandainya aku tak menuruti ego dan tetap tinggal bersama orang kampung di desa, pasti kejadian ini tak akan menimpaku.
Ya Allah.. Maafkan aku... kini aku sudah tidak suci lagi dan tak pantas lagi hidup diantara orang-orang yang menyayangiku.... " Dengan bibir bergetar dan air mata mengguyur deras membasahi wajah, Ratna tetap berjalan di atas rel kereta itu.
Dari arah belakang, sayup-sayup terdengar deru suara kereta. Ratna tak menghiraukan deru mesin kereta di barengi dengan suara gesekan besi rel dengan roda kereta api semakin dekat. Ratna pasrah.. Baginya tiada guna lagi ia hidup di dunia.
Jarak kereta semakin dekat dengan Ratna. Ratna memjamkan mata..
Tiba-tiba....wuuuzzzzz.... sambaran tangan renta menarik Ratna dari atas rel kereta api. Ratna terjatuh di rerumputan bersama seorang perempuan tua paruh baya..
"Kenapa nenek menyelamatkan aku.. Aku sudah kotor..Aku sudah tak pantas lagi hidup di dunia.." Kata-kata Ratna semakin tak terkontrol dan membuat perempuan paruh baya itu semakin iba dengan keadaan Ratna.
"Bersabarlah nak.. semua orang layak memiliki kehidupan di dunia.. Kesempatanmu masih panjang.. Percayalah Allah tidak akan menguji iman sesorang di atas kemampuan orang tersebut. " Dengan sabar perempuan tua itu memberi nasehat pada Ratna, dan membuat Ratna teringat dengan Almarhum neneknya..
Dengan langkah perlahan, Ratna dan perempuan yang menyelamatkannya itu berjalan menuju sebuah pondok kecil di pinggiran sungai.
"Di tempat inilah nenek tinggal.. Sehari-hari nenek menghabiskan waktu dengan memulung barang-barang bekas dari satu tempat ke tempat lain. Semua itu nenek lakukan untuk menyambung hidup.." Mendengar perkataan perempuan tua yang di ketahui sebagai seorang pemulung itu, Ratna mulai tersadar.. Ratna tersadar bahwa perjalan hidup manusia itu tak selalu indah.. Liku-liku dan penderitaan hidup adalah bentuk ujian dari Allah untuk umat manusia.
"Nenek tinggal sendiri.? Mana suami dan anak-anak nenek?" Pertanyaan Ratna membuat perempuan tua itu terdiam dan perlahan butiran bening menetes membasah pada kulit wajah yang keriput, namun perempuan itu masih tetap berusaha tegar dengan nasibnya.
"Dua tahun lalu suami nenek sudah meninggal.. Dan kami tidak di karuniai seorang anak karena mungkin pengaruh dari obat-obatan yang telah masuk ke tubuh nenek. Dulu pekerjaan nenek memang sebagai wanita tuna susila. Lalu ada seorang pria yang rela mengentasku dari dunia hitam itu dan pria itu bersedia menikahiku. Dia lah suami nenek yang dengan tekun mengajarkan nenek untuk kembali ke jalan Allah.." perempuan tua itu menjelaskan masa lalunya pada Ratna. Ratna yang mendengarkan cerita dari perempuan itu semakin terharu...
Malam itu Ratna dan Perempuan tua pemulung itu saling menceritakan perjalanan hidupnya masing-masing..
*********
Hari-hari berlalu, Ratna hidup bersama perempuan yang telah menolongnya itu sebagai seorang pemulung. Ratna mensyukuri hidupnya meski hidup di pinggiran sungai dan berprofesi sebagai pengumpul barang-barang bekas.Kebahagiaan hidup di rasakan Ratna karena nenek Fatimah, perempuan yang telah menolongnya itu sangat menyayanginya, dan menganggap Ratna sebagai cucunya sendiri. Mereka berdua juga kerap datang ke masjid bersama untuk sholat berjamaah dan mengikuti pengajian yang di adakan di masjid yang berjarak tak jauh tempat tinggal mereka.
Setelah di tinggal oleh kakek dan neneknya, berbagai penderitaan hidup di rasakan oleh Ratna. Kini Ratna telah kembali mendapatkan kebahagiaan baru hidup bersama nenek Fatimah.
Namun kebahagiaan itu tak bartahan lama.. Nenek Fatimah yang begitu menyayanginya telah pergi menghadap yang kuasa.
Setelah kepergian nenek Fatimah, Ratna kembali hidup sendiri. Di rumah kecil di pinggiran sungai, Ratna menjalani hidup seorang diri. Hari-hari ia habiskan dengan memulung barang-barang bekas dan menjualnya pada seorang pengepul. Uang hasil penjualan barang bekas tersebut ia gunakan untuk keperluan hidup sehari-hari. Begitu seterusnya hingga Ratna berusia 20 tahun.
Di usianya yang semakin dewasa, Ratna mulai merindukan kampung halamannya. Ia teringat kembali orang-orang yang menyanyanginya, terutama almarhum kakek dan neneknya. Hanya tangis kepiluan yang bisa di lakukan Ratna saat ia teringat mereka. Kerinduan pada kampung halaman membuncah pada hatinya, tatkala ia teringat akan kejamnya kehidupan di kota besar. Namun jika ia kembali ke kampung halaman, ia tak tau kepada siapa akan menyandarkan segala Keluh dan resah..
***************
Senja semakin memerah, bias cahaya mentari mulai tenggelam ke peraduannya.. Gema suara adzan maghrib berkumandang memecah keheningan. Diantara kepak sayap burung malam yang beterbangan menyambut gelap, Seorang gadis keluar dari rumah petak yang di tempatinya dan segera berhambur dengan para penduduk menuju masjid untuk memenuhi panggilan Tuhan.Pada remang malam, para penghuni alam terlelap di antara dekapan malam yang bisu mencekam.
Dunia seakan larut dalam kesunyian. Kegelapan malam pun menyelimuti rumah-rumah petak yang berdiri saling berdempetan di pinggiran sungai dan rel kereta.
Ratna berdiri di atas rel kereta dengan membawa tas yang berisi beberapa lembar pakaiannya. Air matanya kembali menetes.. Ia memandang ke atas sambil merenungi penderitaan hidupnya.
"Ya Allah... Di mana letak keadilan-Mu Ya Allah... Kenapa aku tidak pernah mendapat kebahagiaan hidup seperti yang lain.. Sampai kapan aku harus hidup seperti ini Ya Allah.. Aku seperti rembulan yang ternoda.. Hidup sendiri di antara awan gelap yang menyelimuti..Haruskah aku mengakhiri cerita hidupku, agar aku tak lagi merasakan penderitaan hidup di dunia?
Aku merindukan pelukan kasih sayang kakek dan nenekku..."
Non Ratna mau kemana?
Ini hari kan sudah malam.. kalau mau bepergian kenapa gak besok pagi saja?" Sebuah sapaan mengagetkan lamunan Ratna yang masih berdiri di atas rel kereta.
"Ehh.. pak ustadz..emm... anu, pak.. Ratna mau pulang ke kampung halaman Ratna. Sekalian mau ke makam kakek dan nenek di kampung..." Sambil mengusap air mata yang membasahi wajahnya, Ratna menjawab pertanyaan pak ustadz yang menyapanya dengan berusaha untuk tetap tegar.
"Pak ustadz sendiri mau kemana malam-malam?" Untuk menyembunyikan kerancauan hatinya, Ratna balik bertanya pada ustadz yang menyapanya malam itu.
"Ratna... meski kamu masih berusaha tetap tegar,, bapak masih melihat kerancauan dalam hatimu.. Bapak sebenarnya memang sengaja mau mencari kamu, tapi aku cari di rumah tidak ada. Makanya bapak sengaja ingin mencari ke tempat lain.." Jawaban dari pak ustadz menimbulkan beribu pertanyaan dalam hati Ratna..
"Bapak mencari saya, ada apa ya pak?
Apakah uang yang di pinjam oleh nenek Fatimah pada yayasan belum lunas semua?" Ratna mencoba menerka-nerka tujuan pak ustadz mencarinya.
"Bukan masalah itu, Ratna.. Kalau soal itu, kami semua para jama'ah telah mengikhlaskannya. Tapi tujuan bapak mencarimu atas permintaan Hafidz, anak bapak.. Hafidz meminta bapak untuk melamarkan kamu untuk menjadi istrinya." Sontak Ratna kaget mendengar ucapan Pak ustadz yang ingin melamarnya untuk menjadi istri Hafidz.
"Emmm.....Ma'af, Pak... Bukan saya menolak atau tak menghargai niat baik bapak.. Tapi aku tidak ingin membuat malu keluarga bapak.. Mas Hafidz orang yang berpendidikan, dia baik pada semua orang.. Aku tak mau mencoreng nama baiknya di mata warga dan teman-temannya.. Aku hanyalah seorang pemulung yang tinggal di pinggiran kali,, aku hanyalah gelandangan yang tidak mempunyai siapa-siapa.. Dan....."Kata-kata Ratna terputus setelah pak ustadz memotong perkataannya.
"Kami semua sudah mengetahui semua tentang dirimu Ratna.. Almarhumah ibu Fatimah telah menceritakan semuanya saat kami undang kerumah untuk membicarakan hal ini..
Ratna,, jangan menganggap dirimu hina.. Semua manusia itu memiliki derajat yang sama di mata Allah.. yang membedakan hanyalah tingkat ketaqwaannya.. Dan kami semua sudah mengerti kamu begitu taat beribadah dan kami juga sering melihat Ratna mengaji membaca ayat-ayat Al-Qur'an.. Itulah yang membuat Hafidz tertarik ke Ratna dan meminta bapak untuk melamarkan Ratna untuk Hafidz." Ratna hanya terdiam mendengar penjelasan dari pak ustadz. Ia harus mempertimbangkan segalanya sebelum memutuskan untuk menerima lamaran itu.
Malam itu, Ratna di ajak pak ustadz untuk tinggal di rumahnya. Karena di rumah pak ustadz juga mempunyai anak perempuan dan beberapa anak-anak yatim piatu yang di asuhnya, maka Ratna tidak perlu kwatir akan timbul fitnah yang akan menghancurkan nama baik keluarga pak ustadz.Karena nanti Ratna bisa tinggal bersama para anak-anak yatim itu.
Sebulan kemudian pernikahan Ratna dan Hafidz pun di laksanakan dengan sederhana. Hanya beberapa kerabat dekat dan para jama'ah yang di undang untuk menghadiri acara pernikahan itu.
Keesokan harinya, Ratna dan Hafidz beserta keluarga datang ke kampung halaman Ratna untuk mengunjungi makam kakek dan nenek Ratna.
Hafidz sangat mencintai dan menyayangi Ratna meskipun ia sudah tau semua tentang latar belakang Ratna. Mereka hidup bahagia meski di persatukan dari kalangan yang berbeda.
********
Tujuh tahun kemudian....
Pagi itu Ratna mengantar Aisyah, putrinya, ke sekolah. Sambil berjalan, Aisyah memandangi dua orang pengemis. Seorang pengemis perempuan tua yang duduk di sebelah pengemis laki-laki tua yang ada di seberang jalan. Aisyah menarik-narik tangan ibunya dan menunjuk ke dua pengemis itu untuk memberikan uang kepada sang pengemis. Dengan tersenyum, Ratna menuruti keinginan putrinya tersebut untuk memberikan beberapa lembar uang sepuluh ribuan pada kedua pengemis tua itu."Bu.. itu kertas apa.." tanya pengemis laki-laki pada istrinya setelah melihat ada selembar kertas yang tergeletak di tanah setelah Ratna beranjak dari depan mereka...
"Nggak tau juga pak.. Coba bapak ambil. Siapa tau itu surat penting milik ibu yang ngasih uang tadi.." Sang suami dari pengemis itu segera mengambil selembar kertas yang tergeletak di tanah itu, dan betapa terkejutnya pengemis itu karena kertas yang ia temukan adalah surat yg mereka tulis untuk Ratna.
Bibir lelaki tua itu bergetar menahan tangis, bulir-bulir bening air mata menetes membasahi raut wajahnya, dan membuat sang istri segera ikut melihat tulisan yang ada di kertas yang di temukannya. Mereka merasa bersalah telah menelantarkan Ratna saat masih bayi. Hanya karena sebuah mitos, ia rela meninggalkan anaknya yang tak berdosa. Kini Ratna telah bahagia.. Tapi mereka tak mengetahui penderitaan Ratna semenjak di tinggalkan hingga Ratna terdampar seorang diri di tengah ganasnya kehidupan di kota. Dalam hati kecilnya, mereka ingin menyusul Ratna dan meminta maaf atas perlakuannya terhadap anaknya. Tapi Batinnya menolak.. Ia merasa malu dan ingin menghindar dari kehidupan Ratna. Dengan tertatih, kedua orang tua itu pergi meninggalkan tempat itu, ia ingin menjauh mencari penghidupan di tempat yang tak di ketahui oleh anaknya.***
Dunia terlalu sempit untuk bersembunyi,, dan terlalu singkat untuk bersama.
Di pagi yang cerah, sinar mentari terbit memberi kehangatan pada kehidupan di semesta alam...
Saat Ratna dan suaminya menemani buah hatinya untuk bermain di taman, tiba-tiba Aisyah sang buah hati menarik tangan ayah dan ibunya menuju ke sebuah pojok taman. Di sana terduduk lesu kedua pengemis yang di temui Ratna saat ia mengantarkan Aisyah ke sekolah. Ratna segera mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu untuk di serahkan ke pengemis itu. Namun Hafidz segera memegang tangan Ratna dan menyuruh Ratna untuk mengembalikan uang itu kedalam tasnya..
"Kembalikan uang itu ke tas kamu..." Ratna kaget dengan tingkah suaminya yang melarang ia memberi sedekah pada pengemis. Namun tiba-tiba Hafidz segera mengambil dompet dan mengeluarkan dua lembar uang seratus ribuan dan di serahkan ke pengemis.
Melihat hal itu, kedua pengemis hanya menunduk dan tak mampu melihat kewajah bahagia Ratna.
"Terimakasih atas kebikan kalian berdua. Semoga Allah selalu melimpahkan rizeki dan kebahagiaan untuk keluargamu." Dengan berlinang air mata, pengemis itu memberikan selembar kertas yang ia temukan tempo hari kepada Ratna.
"Maafkan ibu, Nakk.. Ibu telah menelantarkan kamu sewaktu masih bayi. Dan sekarang kamu sudah dewasa, dan sudah memiliki keluarga yang bahagia.." Mendengar ucapan itu, hati Ratna bergejolak.. Ia ingin memaki kedua pengemis itu yang di ketahui adalah orang tuanya yang telah membuat hidupnya menderita. Tapi Ratna hanya terdiam tak mampu berucap. Seketika itu Ratna menarik tangan anak dan suaminya untuk menjauhi pengemis itu. Namun Aisyah, sang buah hatinya berontak. Aisyah sepertinya memiliki ikatan batin yang kuat sehingga saat melihat kedua pengemis itu Aisyah selalu mengajak ibundanya untuk mendekat.
Sementara Hafidz yang masih dalam kebingungan, segera mendekat pada Ratna.
"Kalau memang kedua orang tua itu adalah orang tua kamu, kamu harus mengakuinya. Bagaimana pun juga, mereka orang tuamu.." Hafidz segera memegang tangan istrinya dan meminta Ratna untuk memaafkan kedua orang tuanya.
Ratna yang tak mampu menolak kehendak suaminya, dengan perlahan ia mendekat pada kedua orang tuanya dan segera merangkul keduanya..
Isak tangis pun pecah diantara mereka. Hafidz tersenyum sambil memeluk putrinya. Begitu pula Aisyah, ia segera ikut nimbrung ibundanya untuk merangkul kakek dan neneknya.
"Tangis kebahagiaan terhambur diantara bunga-bunga yang bermekaran di sudut taman...
Noda sinar redup rembulan yang berselimutkan awan kelam, kini telah tenggelam tergantikan indah cerah bias sinar sang surya, yang memberi kehangatan untuk menyongsong asa bahagia...."
***TAMAT***
Liku-liku perjalanan kehidupan laksana perjalanan aliran arus sungai.
Melewati jalanan berliku, dan tak jarang juga melewati bebatuan terjal.
Perjuangan, Kesabaran dan do'a, harus tetap di lakukan untuk mencari celah jalan keluar dari setiap masalah yang kita hadapi..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar