** Kisah di bawah ini hanyalah cerita imajinasi dari secangkir kopi.**
"Rintik-rintik hujan turun membasahi tubuhku
Berlari-lari kecil sepayung kita berdua
Bahagia di hati
Oh indahnya
Kau yang ku dambakan,
Kaulah kaulah cintaku....."
Sepenggal lirik lagu 'Hati Kecil' dari Almarhumah Nike Ardilla, sayup-sayup terdengar menembus malam sunyiku.
Rintik gerimis malam, mengusik memori indah masa yang silam.
Namun hendak kubawa kemana rindu jiwa yang bergejolak. Rintih hati yang tercabik, dan tersayat oleh mata belati hingga koyak.
Puing kenangan melanglang lenggang, membuihkan angan yang telah terpendam.
Di atas sebuah jembatan kecil diujung desa, gadis berpayung hitam berlari-lari kecil menyambutku dengan lambaian.
Terbalut kabut tipis berselubung gerimis, sepayung berdua kami menapaki jalanan kecil diantara bulir-bulir padi yang mulai menguning, yang terhampar luas di persawahan.
Betapa aku bahagia disaat itu. Disepanjang jalan dibawah rintik hujan, ia bercerita tentang kerinduan, tentang mimpi-mimpi indah dan kebersamaan.
Tapi malam ini, air mata berlinang dalam hati yang terkenang.
Kenangan akan sebuah impian untuk meraih kebahagiaan. Namun mimpi-mimpi indah itu, kini hanyalah sebuah mimpi yang tak kan pernah menjadi kenyataan.
Sungguh tiada aku duga sebelumnya. Cinta yang telah kami bina, berakhir dengan tragedi dan kenestapaan. Dia telah pergi untuk selama-lamanya disaat aku telah siap meminangnya.
Siang itu, mendung gelap menyelimuti langit. Berlari-lari kecil, gadisku kembali menyambut aku datang, dengan sebuah payung hitam di tangan.
Senyum kebahagiaan terpancar jelas dari pesona raut wajah indahnya.
Namun, sesaat senyuman itu berubah menjadi duka. Duka cita cinta dibawah langit yang berpayung mendung, hitam dan legam.
Bagaikan dalam sebuah adegan film. Di bawah derai hujan, kerumunan orang memandangiku penuh haru. Mereka menyaksikanku memangku tubuh lemah yang berlumur darah dan lemas tak berdaya, setelah sebuah minibus menyambar tubuh gadisku.
"Ya Allah..!!" Kupeluk erat gadisku, aku berteriak keras, berlomba dengan gemuruh hujan dan suara petir yang menggelegar.
Hujan tak hentinya mengguyur. Seakan ia acuh dengan air mata dan teriakanku.
Aku terduduk lemas. Raung suara sirine ambulance menambah suasana terasa mengiris pedih menyayat hati.**
"Naura ... Tujuh tahun telah berlalu... Namun kenangan indah bersamamu, selalu mengusik hatiku, saat aku mendengar sebuah lagu kesukaanmu yang sering kau nyanyikan saat bersamaku." Gumam dalam hatiku, seiring gerimis malam yang tak kunjung reda. "Semoga kau tenang di alam sana, serta mendapatkan tempat yang layak di sisi-Nya ... Amiin.."
"Mas ... " Suara lirih seorang wanita memanggilku dari balik pintu. "Udah larut malam, kenapa masih duduk di teras rumah.?" ia melanjutkan kata-katanya, dan membuyarkan lamunanku.
Aku segera menoleh ke arah pintu, dan kudapati senyuman indahnya.
Aku segera menghabiskan sisa kopi yang ia buatkan sejak tadi, sebelum ia menidurkan bidadari kecil buah hati kami.
Aku segera menghampirinya, dan kuajak ia masuk rumah. Aku tak ingin melukai perasaannya, dengan menceritakan lamunanku tentang masa laluku bersama Naura.
Bagaimanapun juga, Naura telah pergi untuk selama-lamanya. Dan aku tak mau ia cemburu dengan orang yang telah tiada.
Aku bersyukur, Tuhan telah mengirimkan dia pengganti Naura. Aku yakin, Naura pasti bahagia jika melihatku bahagia.
Dan untuk mengingatkanku dengan Naura, aku memberi nama buah hati kami dengan nama "Naura"
SEKIAN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar