Assalamu'alaikum Warokhmatullahi Wabarokaatuh
Selamat bertemu kembali, kawan.Mohon maaf khususnya untuk kawan blogger mwb yg sudah berkunjung ke blog saya ini, namun saya belum sempat berkunjung balik ke blog sampeyan semua.
Kesibukan dunia nyata lagi padat, kerjaan dobel menjadi kendala untuk blogwalking.
Dan cerpen yang akan saya posting kali ini cerpen kiriman dari teman saya, yang mungkin saja diantara kawan2 semua sudah mengenalinya.
Siapa dia, dan bagaimana cerpen karyanya,?
Yuk, kita simak di bawah ini.
JODOHKU ADIK IPARKU
(Karya: Tsalis Q.)
(Karya: Tsalis Q.)
"Gus, Aku padamu." Huuuuhhh..! siapa aku,? beraninya aku jika kalimat itu harus terlafal dari bibirku untuk seorang Gus Fahmi, Adik seorang Kyai pengasuh pondok pesantren, tempat di mana Aku belajar ilmu Agama.
Sedangkan Aku, Nadia seorang anak tukang becak yang jauh dari hidup agamis sehari-hari.
Ayahku tiap pagi mangkal di perempatan Ngunut, untuk menunggu penumpang yang membutuhkan jasa becaknya. Dan ayah akan dengan senang hati mengantarkan penumpangnya sampai tujuan. Sedang Ibuku seorang buruh tani di desaku. Ibu selalu mengerjakan ladang milik tetangga kami dengan imbalan upah.
Aku juga bukanlah seorang gadis yang cantik dan pintar. Tapi meskipun begitu aku gadis yang sangat rajin.
Setiap pulang sekolah aku selalu membantu Ibu mengurus kebutuhan rumah tangga. Menyapu dan menyiapkan makan malam setiap sore menjadi tugasku sehari-hari. Seusai sholat Maghrib, Aku selalu mengaji di rumah tetanggaku meskipun Ayah dan Ibuku tidak menyuruhku. Tapi keinginan yang sangat kuat untuk belajar ilmu agama, hingga suatu hari usai tamat Tsanawiyah aku dimasukkan ke pesantren oleh orang tuaku. Dan di sanalah kisah cintaku dengan Gus Fahmi terukir indah.
Tahun 2004 aku telah sah dinyatakan sebagai Santriwati ponpes Al-Hikmah yang berada dibawah asuhan K.H. Ulil Abshor.
Sebagai santri baru, Aku masih merasa canggung dengan setiap aktifitas pondok. Namun dengan Bismillah dan bertawakal, Aku memenuhi kewajiban untuk belajar memperoleh ilmu yang barokah dan bermanfaat, khususnya untuk Aku pribadi dan Insya Allah juga untuk sesama. Aamiin ya Robbal Alamin.
Jadwal aktifitas pondok pesantren sangatlah padat. Pagi hari sekitar pukul 07.00, seluruh santriwati diharuskan setoran Al-Quran kepada Bu Nyai Fatimah, keponakan Abah Ulil Abshor selaku pengasuh.
Siang hari seusai sholat Dhuhur, para santri mengaji kitab fiqih yang dibimbing oleh Gus Fahmi, Adik kandung Abah Ulil. Kemudian pada malam harinya, Abah Ulil sendiri yang mengisi Tafsir jalalain untuk seluruh santrinya.
Tidak seperti biasanya, malam itu menjelang tidur Aku dipanggil Gus Fahmi. " Nadia sudah mau istirahat,? Tolong buatkan kopi untukku dulu." Kata Gus Fahmi di depan pintu belakang Ndalem, sebelum beliau menuju ke Ndalem.
"Njiih, Gus." balasku dengan anggukan kepala tanpa pandangan mata sekilaspun.
Lalu aku segera menuju ke dapur dan kuambil cangkir kesayangan Gus Fahmi di rak, yang kemudian kuseduh secangkir kopi untuk Gus Fahmi.
Usai membuat kopi, Aku pun segera melangkahkan kaki menuju Ndalem untuk mengantarkan kopi kepada Gus Fahmi yang tengah duduk di ruang santai. "Niki kopinya, Gus," kataku dengan wajah tertunduk dan tetap tanpa menatapnya, dan aku pun pergi berlalu meninggalkan Gus Fahmi. Tetapi sebelum sempat Aku hilang dari pandangan Gus Fahmi, Gus Fahmi memanggilku kembali.
Aku pun berbalik arah dan melangkah mendekati Gus Fahmi kembali. "Njih, Gus. Wonten menopo,?" kataku yang masih dalam pandangan tertunduk.
"Nggak ada apa-apa. Cuma mau bilang kalau kopinya manis seperti yang membuat. Terima kasih, Mbak Nadia." Katanya sambil menyeruput kopi dalam pegangan tangannya.
Huuuuuhhh....!! Bahagia, malu, bercampur aduk jadi satu.
Dengan menyimpan berbagai rasa di dada, Aku pun berlalu tanpa sedikitpun wajahku kuperlihatkan kepada Gus Fahmi.**
Sejak kejadian malam itu, sikap Gus Fahmi selalu perhatian padaku. Setiap malam Gus Fahmi selalu memintaku untuk membuatkan kopi untuknya.
Setiap malam aku pun tak pernah absen mengantar secangkir kopi untuk Gus Fahmi.
Hingga suatu malam, Gus Fahmi menyatakan niatnya untuk menikahiku. "Mbak Nadia, bersediakah sampean untuk menjadi istriku.?" Kata Gus Fahmi padaku.
Aku tersentak kaget. Badanku gemetar, kulitku serasa panas dingin mendengar kata Gus Fahmi.
Kuberanikan diri mengangkat wajahku pertama kalinya untuk memandang Gus Fahmi, dan harapan hatiku saat itu sama dengan Gus Fahmi, yaitu sakinah dengan Gus Fahmi. Karena semenjak pertama kali membuatkan kopi untuk Gus Fahmi, hatiku selalu berdoa semoga Aku pelayan terbaik bagi Gus Fahmi.
Dengan masih tak percaya, Aku memulai menata hati. Jika memang benar Gus Fahmi menjadi jodohku, maka kalimat yang terangkum indah hanya "Alhamdulillahirobbil'alamiin ... Bismillahirrokhmanirrokhiim..."
Aku pun manganggukkan kepala tanda kesediaanku untuk menjadi bidadari Gus Fahmi di dunia dan Akhirat.**
Satu Bulan kemudian, Gus Fahmi ingin menyampaikan niatnya untuk menikahiku kepada Kakak kandungnya, K.H. Ulil Abshor.
Malam itu, obrolan Kyai Ulil dan Gus Fahmi terlihat sangat serius. Dan seperti biasanya, malam itu Aku mengantarkan kopi untuk Gus Fahmi dan Kyai Ulil.
Usai mengantarkan kopi untuk beliau, Kyai Ulil menyuruhku duduk disebelah bawah Gus Fahmi. Hatiku kembali bergetar. Ada banyak kata tanya yang terangkum dalam hatiku. Aku takut jika Abah Ulil sebagai Guru, tidak meridhoi niat baikku dengan Gus Fahmi.
Abah Ulil memulai kata-katanya, "Fahmi, adikku. Sudah lama Aku menduda dan mendidik putraku sendirian. Aku sudah lelah. Aku ingin menikah lagi, mencarikan Ibu yang baik untuk Fauzan, anakku. Dan Aku memilih Nadia sebagai Ibunya. Kuharap niat baik Kakakmu ini bisa sampean restui."
Bagai disambar petir malam itu. Aku dengan Gus Fahmi tersentak kaget. Kami saling pandang, bibir semakin terasa kaku. Badanku gemetar. Pandanganku semakin kosong, kata yang kurangkai dan terangkum indah dengan Gus Fahmi tak sempat terluahkan dan menjadi nyata. Kyai Ulil telah mendahului Gus Fahmi mengkhitbahku.
"Ya Arhamarrohimin farrijalalmuslimin."
"Mbak Nadia, Aku meridhoi sampean menikah dengan kakakku, K.H. Ulil Abshor. Kakakku dan keponakanku Fauzan, sangat membutuhkan sosok wanita seperti sampean. Maka mantapkan Niatmu untuk menjadi istri dan Ibu untuk Kakakku dan keponakanku. Aku selalu bersamamu dalam doa, semoga kau bahagia bersama Kakakku."
Itulah kata dan kalimat terakhir Gus Fahmi, usai obrolan malam itu. Aku pun tak bisa berbuat apa-apa.
Semua keluarga, Ayah dan juga Ibuku telah merestui niat Kyai Ulil untuk menikahiku. Dan Gus Fahmi yang kukasihi juga telah merelakanku menikah dengan Kakaknya.
Sam'an Wa Thoatan.. Itulah langkahku.**
Awal tahun 2013, Aku menikah dengan K.H. Ulil Abshor secara sederhana di ponpes Al-Hikmah.
Alhamdulillah, pada tahun kedua pernikahanku, kebahagiaanku bertambah karena teranugerah lagi seorang pangeran dalam keluargaku. Dua pangeran telah melengkapi kebahagiaan kami. Satu pangeran terlahir dari rahimku, dan seorang pangeran terlahir dari rahim istri pertama Kyai Ulil.
Subhanallah ... Puji syukur atas limpahan rahmat dan nikmat-Nya untuk keluaga kecilku bersama Kyai Ulil.
Puji syukur kami sekeluarga hanya tercurah pada-Nya sang pemberi nikmat, Dzat sang kaya nikmat dan penguasa segala nikmat.
Namun kebahagiaanku tidak berlangsung lama. Juli 2014, ketika usia putra kami baru berusia seminggu, kebahagiaan kami terenggut. K.H. Ulil wafat karena masuk angin, dan terlambat mendapatkan pengobatan karena saat itu Kyai Ulil sedang mendapat undangan sebagai mubaligh disuatu acara.
Setahun sudah K.H. Ulil meninggalkanku dan kedua putra kami. Kepergiaanya telah meninggalkan duka yang sangat mendalam untuk kami sekeluarga khususnya, dan para santri yang tengah mukim di rumah kami.
Hari-hari berikutnya para santri tetap terus belajar meskipun tanpa K.H. Ulil.
Semua kegiatan beliau diambil alih oleh Gus Fahmi. Dari mulai urusan santri dan keperluan anak-anak, Gus Fahmi lah yang menanggung semua.
Hari berlalu, siang dan malam silih berganti. Kesepian dan kedukaan semakin menjadi kenangan. Aktifitas para santri mulai aktif kembali. Mereka sudah mulai terbiasa akan kehadiran Gus Fahmi sebagai ganti K.H. Ulil. Anak-anakku dengan K.H. Ulil mulai ceria kembali. Semangat yang ditanamkan Gus Fahmi mulai membangkitkan semangat anak pertama K.H. Ulil dengan Istri pertamanya.
Aku bahagia sekaligus berduka. Dua tahun sepeninggal K.H Ulil, keluarga K.H. Ulil mendesakku dan memaksa Gus Fahmi untuk menikah. "Sayang, Mi. Jika anak-anak Kakakmu dididik orang lain. Menikahlah dengan Nadia. Merawat anak yatim itu pahalanya besar. Apalagi mereka juga anak dari Kakak kandungmu sendiri. Kami sekeluarga mengharapkan kalian menikah secepatnya." Itulah kata-kata yang dilontarkan Kakak perempuan Gus Fahmi, Adik K.H. Ulil Abshor.
Tanpa menunggu dan berfikir panjang, Aku ikuti saja saran dari keluarga K.H. Ulil.
Akhirnya pada Ramadhan hari ke sepuluh, Aku resmi menikah dengan Gus Fahmi.
Semoga pernikahan ini membawa keberkahan dan bertumpuknya pahala ibadahku sebagai Ibu, sekaligus istri yang baik untuk suami dan anak-anakku kelak.
Aamiin..
Sedangkan Aku, Nadia seorang anak tukang becak yang jauh dari hidup agamis sehari-hari.
Ayahku tiap pagi mangkal di perempatan Ngunut, untuk menunggu penumpang yang membutuhkan jasa becaknya. Dan ayah akan dengan senang hati mengantarkan penumpangnya sampai tujuan. Sedang Ibuku seorang buruh tani di desaku. Ibu selalu mengerjakan ladang milik tetangga kami dengan imbalan upah.
Aku juga bukanlah seorang gadis yang cantik dan pintar. Tapi meskipun begitu aku gadis yang sangat rajin.
Setiap pulang sekolah aku selalu membantu Ibu mengurus kebutuhan rumah tangga. Menyapu dan menyiapkan makan malam setiap sore menjadi tugasku sehari-hari. Seusai sholat Maghrib, Aku selalu mengaji di rumah tetanggaku meskipun Ayah dan Ibuku tidak menyuruhku. Tapi keinginan yang sangat kuat untuk belajar ilmu agama, hingga suatu hari usai tamat Tsanawiyah aku dimasukkan ke pesantren oleh orang tuaku. Dan di sanalah kisah cintaku dengan Gus Fahmi terukir indah.
Tahun 2004 aku telah sah dinyatakan sebagai Santriwati ponpes Al-Hikmah yang berada dibawah asuhan K.H. Ulil Abshor.
Sebagai santri baru, Aku masih merasa canggung dengan setiap aktifitas pondok. Namun dengan Bismillah dan bertawakal, Aku memenuhi kewajiban untuk belajar memperoleh ilmu yang barokah dan bermanfaat, khususnya untuk Aku pribadi dan Insya Allah juga untuk sesama. Aamiin ya Robbal Alamin.
Jadwal aktifitas pondok pesantren sangatlah padat. Pagi hari sekitar pukul 07.00, seluruh santriwati diharuskan setoran Al-Quran kepada Bu Nyai Fatimah, keponakan Abah Ulil Abshor selaku pengasuh.
Siang hari seusai sholat Dhuhur, para santri mengaji kitab fiqih yang dibimbing oleh Gus Fahmi, Adik kandung Abah Ulil. Kemudian pada malam harinya, Abah Ulil sendiri yang mengisi Tafsir jalalain untuk seluruh santrinya.
Tidak seperti biasanya, malam itu menjelang tidur Aku dipanggil Gus Fahmi. " Nadia sudah mau istirahat,? Tolong buatkan kopi untukku dulu." Kata Gus Fahmi di depan pintu belakang Ndalem, sebelum beliau menuju ke Ndalem.
"Njiih, Gus." balasku dengan anggukan kepala tanpa pandangan mata sekilaspun.
Lalu aku segera menuju ke dapur dan kuambil cangkir kesayangan Gus Fahmi di rak, yang kemudian kuseduh secangkir kopi untuk Gus Fahmi.
Usai membuat kopi, Aku pun segera melangkahkan kaki menuju Ndalem untuk mengantarkan kopi kepada Gus Fahmi yang tengah duduk di ruang santai. "Niki kopinya, Gus," kataku dengan wajah tertunduk dan tetap tanpa menatapnya, dan aku pun pergi berlalu meninggalkan Gus Fahmi. Tetapi sebelum sempat Aku hilang dari pandangan Gus Fahmi, Gus Fahmi memanggilku kembali.
Aku pun berbalik arah dan melangkah mendekati Gus Fahmi kembali. "Njih, Gus. Wonten menopo,?" kataku yang masih dalam pandangan tertunduk.
"Nggak ada apa-apa. Cuma mau bilang kalau kopinya manis seperti yang membuat. Terima kasih, Mbak Nadia." Katanya sambil menyeruput kopi dalam pegangan tangannya.
Huuuuuhhh....!! Bahagia, malu, bercampur aduk jadi satu.
Dengan menyimpan berbagai rasa di dada, Aku pun berlalu tanpa sedikitpun wajahku kuperlihatkan kepada Gus Fahmi.**
Sejak kejadian malam itu, sikap Gus Fahmi selalu perhatian padaku. Setiap malam Gus Fahmi selalu memintaku untuk membuatkan kopi untuknya.
Setiap malam aku pun tak pernah absen mengantar secangkir kopi untuk Gus Fahmi.
Hingga suatu malam, Gus Fahmi menyatakan niatnya untuk menikahiku. "Mbak Nadia, bersediakah sampean untuk menjadi istriku.?" Kata Gus Fahmi padaku.
Aku tersentak kaget. Badanku gemetar, kulitku serasa panas dingin mendengar kata Gus Fahmi.
Kuberanikan diri mengangkat wajahku pertama kalinya untuk memandang Gus Fahmi, dan harapan hatiku saat itu sama dengan Gus Fahmi, yaitu sakinah dengan Gus Fahmi. Karena semenjak pertama kali membuatkan kopi untuk Gus Fahmi, hatiku selalu berdoa semoga Aku pelayan terbaik bagi Gus Fahmi.
Dengan masih tak percaya, Aku memulai menata hati. Jika memang benar Gus Fahmi menjadi jodohku, maka kalimat yang terangkum indah hanya "Alhamdulillahirobbil'alamiin ... Bismillahirrokhmanirrokhiim..."
Aku pun manganggukkan kepala tanda kesediaanku untuk menjadi bidadari Gus Fahmi di dunia dan Akhirat.**
Satu Bulan kemudian, Gus Fahmi ingin menyampaikan niatnya untuk menikahiku kepada Kakak kandungnya, K.H. Ulil Abshor.
Malam itu, obrolan Kyai Ulil dan Gus Fahmi terlihat sangat serius. Dan seperti biasanya, malam itu Aku mengantarkan kopi untuk Gus Fahmi dan Kyai Ulil.
Usai mengantarkan kopi untuk beliau, Kyai Ulil menyuruhku duduk disebelah bawah Gus Fahmi. Hatiku kembali bergetar. Ada banyak kata tanya yang terangkum dalam hatiku. Aku takut jika Abah Ulil sebagai Guru, tidak meridhoi niat baikku dengan Gus Fahmi.
Abah Ulil memulai kata-katanya, "Fahmi, adikku. Sudah lama Aku menduda dan mendidik putraku sendirian. Aku sudah lelah. Aku ingin menikah lagi, mencarikan Ibu yang baik untuk Fauzan, anakku. Dan Aku memilih Nadia sebagai Ibunya. Kuharap niat baik Kakakmu ini bisa sampean restui."
Bagai disambar petir malam itu. Aku dengan Gus Fahmi tersentak kaget. Kami saling pandang, bibir semakin terasa kaku. Badanku gemetar. Pandanganku semakin kosong, kata yang kurangkai dan terangkum indah dengan Gus Fahmi tak sempat terluahkan dan menjadi nyata. Kyai Ulil telah mendahului Gus Fahmi mengkhitbahku.
"Ya Arhamarrohimin farrijalalmuslimin."
"Mbak Nadia, Aku meridhoi sampean menikah dengan kakakku, K.H. Ulil Abshor. Kakakku dan keponakanku Fauzan, sangat membutuhkan sosok wanita seperti sampean. Maka mantapkan Niatmu untuk menjadi istri dan Ibu untuk Kakakku dan keponakanku. Aku selalu bersamamu dalam doa, semoga kau bahagia bersama Kakakku."
Itulah kata dan kalimat terakhir Gus Fahmi, usai obrolan malam itu. Aku pun tak bisa berbuat apa-apa.
Semua keluarga, Ayah dan juga Ibuku telah merestui niat Kyai Ulil untuk menikahiku. Dan Gus Fahmi yang kukasihi juga telah merelakanku menikah dengan Kakaknya.
Sam'an Wa Thoatan.. Itulah langkahku.**
Awal tahun 2013, Aku menikah dengan K.H. Ulil Abshor secara sederhana di ponpes Al-Hikmah.
Alhamdulillah, pada tahun kedua pernikahanku, kebahagiaanku bertambah karena teranugerah lagi seorang pangeran dalam keluargaku. Dua pangeran telah melengkapi kebahagiaan kami. Satu pangeran terlahir dari rahimku, dan seorang pangeran terlahir dari rahim istri pertama Kyai Ulil.
Subhanallah ... Puji syukur atas limpahan rahmat dan nikmat-Nya untuk keluaga kecilku bersama Kyai Ulil.
Puji syukur kami sekeluarga hanya tercurah pada-Nya sang pemberi nikmat, Dzat sang kaya nikmat dan penguasa segala nikmat.
Namun kebahagiaanku tidak berlangsung lama. Juli 2014, ketika usia putra kami baru berusia seminggu, kebahagiaan kami terenggut. K.H. Ulil wafat karena masuk angin, dan terlambat mendapatkan pengobatan karena saat itu Kyai Ulil sedang mendapat undangan sebagai mubaligh disuatu acara.
Setahun sudah K.H. Ulil meninggalkanku dan kedua putra kami. Kepergiaanya telah meninggalkan duka yang sangat mendalam untuk kami sekeluarga khususnya, dan para santri yang tengah mukim di rumah kami.
Hari-hari berikutnya para santri tetap terus belajar meskipun tanpa K.H. Ulil.
Semua kegiatan beliau diambil alih oleh Gus Fahmi. Dari mulai urusan santri dan keperluan anak-anak, Gus Fahmi lah yang menanggung semua.
Hari berlalu, siang dan malam silih berganti. Kesepian dan kedukaan semakin menjadi kenangan. Aktifitas para santri mulai aktif kembali. Mereka sudah mulai terbiasa akan kehadiran Gus Fahmi sebagai ganti K.H. Ulil. Anak-anakku dengan K.H. Ulil mulai ceria kembali. Semangat yang ditanamkan Gus Fahmi mulai membangkitkan semangat anak pertama K.H. Ulil dengan Istri pertamanya.
Aku bahagia sekaligus berduka. Dua tahun sepeninggal K.H Ulil, keluarga K.H. Ulil mendesakku dan memaksa Gus Fahmi untuk menikah. "Sayang, Mi. Jika anak-anak Kakakmu dididik orang lain. Menikahlah dengan Nadia. Merawat anak yatim itu pahalanya besar. Apalagi mereka juga anak dari Kakak kandungmu sendiri. Kami sekeluarga mengharapkan kalian menikah secepatnya." Itulah kata-kata yang dilontarkan Kakak perempuan Gus Fahmi, Adik K.H. Ulil Abshor.
Tanpa menunggu dan berfikir panjang, Aku ikuti saja saran dari keluarga K.H. Ulil.
Akhirnya pada Ramadhan hari ke sepuluh, Aku resmi menikah dengan Gus Fahmi.
Semoga pernikahan ini membawa keberkahan dan bertumpuknya pahala ibadahku sebagai Ibu, sekaligus istri yang baik untuk suami dan anak-anakku kelak.
Aamiin..
SEKIAN.
Cerpen kiriman: Tsalis Q. (Anidarahayu K.)
Penulis : Tsalis Q. (Anidarahayu K.)
*Ndalem ; bahasa jawa halus yang artinya Rumah.
Wassalamu'alaikum Warokhmatullahi Wabarokaatuh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar