Dalam Mission Of The-Les Kebes 3 ( bagian 1 ) kemarin, Latifa dan Salman bertengkar hanya karena masalah sepele, yaitu adanya sesuatu yang mengganjal di punggung Salman ketika ia membonceng Latifa. Lalu datanglah Pak Tua dengan membawa karung lusuh yang melerai ketegangan di antara mereka.
Nah, seperti apa kelanjutan cerita pada bagian pertama tersebut?
Yukk, kita intipin mereka dalam Mission Of The-Les Kebes 3, bag.2. di bawah ini.
Namun sebelumnya jangan lupa juga untuk membaca cerita-cerita sebelumnya dalam Mission of The-Les Kebes 1 dan Mission of The-Les Kebes 2.
Dalam ketegangan antara kedua belah pihak, seorang lelaki setengah baya datang menghampiri mereka. "Kenapa bertengkar di jalan, Nak?" Tanya lelaki itu sambil meletakkan karung lusuh yang dibawanya, ke tanah.
"Ini, Kek. Punggungku sakit tertusuk jarum yang nempel di tas-nya." Jawab Salman dengan segera.
"PRAAAKKK...!" Dengan sigap Latifa mendaratkan tas-nya ke kepala Salman.
"Sudah, sudah... Tidak usah bertengkar. Kalau ada masalah, selesaikan secara baik-baik." Tutur lelaki itu dengan bijak. Hal itu membuat Salman Dan Latifa terdiam.
"Sepertinya aku mengenali suara dari kakek ini." Latifa berkata dalam hati. Kemudian ia memperhatikan dalam-dalam raut muka si kakek yang ada di hadapannya itu. Lelaki tua itu menundukkan kepala.
"Kakek ini kapten Djack?" Tanya Latifa tiba-tiba, namun si kakek itu tetap menunduk tanpa menjawab pertanyaan Latifa. "Kek ... Kakek ini kapten Djack yang telah menyelamatkan aku dan nenekku waktu di pengungsian itu, 'kan?" Desak Latifa, "ini aku, Latifa, cucunya Mak Rini, Kek. Kenapa Kakek menunduk terus? Kakek nggak usah malu."
"Maaf, Non. Saya menunduk bukan karena malu. Tapi saya menunduk karena tertarik melihat anu-nya Non." Jawab lelaki tua itu, hingga menyebabkan sorot mata Salman segera mengarah ke suatu tempat. "Anu, Non, sandalnya yang sebelah tertukar dengan punya neneknya, ya?" Sambung lelaki tua itu.
Salman yang sedari tadi sudah mengetahui kalau sandal yang dipakai Latifa tertukar sebelah, ia hanya cekikikan sambil garuk-garuk kepala.
"Heh! Kenapa kamu tadi tidak bilang kalau sandalku yang sebelah tertukar dengan sandal nenek?" Bentak Latifa pada Salman.
"Salah kamu sendiri, kan? Kenapa tadi waktu aku domblong lihat penampilan kamu, malah kamu bilang aku nggak pernah lihat wanita cantik." Bantah Salman membela diri.
"Emmm ..." Latifa ingin melanjutkan percakapannya dengan lelaki tua yang ditemuinya itu, namun lelaki itu sudah pergi saat ia cekcok dengan Salman. Ia mengarahkan pandangannya ke segala penjuru, namun lelaki tua itu sudah lenyap bak ditelan bumi. "Kemana ya, kakek tadi?"
Setelah tengok kanan-kiri tak ada sesuatu yang berarti, akhirnya Latifa dan Salman memutuskan untuk pergi. Meski rasa penasaran masih berkecamuk dalam hati, namun Latifa tetap melanjutkan perjalanan ke kota. Saat kembali pulang, pun, rasa penasaran itu masih menyelimuti hati Latifa. Bahkan di saat melewati jalan di mana ia bertemu lelaki tua misterius tadi, pandangan Latifa selalu mengarah kesana kemari tiada henti. Namun nihil. Orang tersebut tak lagi dijumpai.
Di sudut remang, seorang pemuda sedang duduk di sebuah bangku kecil di halaman rumahnya. Ia selalu terbayang oleh wajah gadis cantik yang diidamkannya. Meski sering bersama, bahkan sering cekcok dengannya, namun sebenarnya ia memendam rasa yang teramat dalam. Tetapi rasa itu selalu disembunyikannya. Pemuda itu takut persahabatannya dengan gadis itu akan hancur jika ia ungkapkan perasaannya, dan ternyata cintanya bertepuk sebelah tangan.
Dari segi usia, memang usia pemuda itu terpaut jauh dari gadis impiannya. Namun ia percaya jodoh ada di tangan-Nya. Usia tidak dapat membatasi cinta. "Biarlah kusimpan rasa ini. Kalau memang sudah jodoh, pasti dia akan kumiliki seutuhnya. Tapi kalaupun dia menjadi jodoh orang lain, aku harus tetap ikhlas, meski terasa sakit di sini." Gumam pemuda itu sambil mengelus dadanya yang mulai ditumbuhi bulu-bulu halus.
"KROSAAKKK..." Sebuah suara tak diundang datang mengacaukan suasana hayal Salman. Ia pun tergagap kaget dan segera lari masuk ke dalam rumah. Dari dalam rumah, remang-remang ia melihat sesuatu keluar dari semak-semak. "Ah, dasar kucing sialan!" gumamnya. "Ganggu orang melamun saja." *
Pagi yang dingin. Di sebuah bangku tua, Mak Rini duduk termangu di beranda rumah. Ia terpikir oleh cerita cucunya, Latifa, tentang lelaki tua yang ditemuinya. "Mungkinkah orang yang bertemu dengan Latifa itu benar kapten Djack?" Berbagai tanya muncul dalam benak hati Mak Rini. "Tapi, kenapa dia tidak mau menjawab pertanyaan Latifa?"
Tak ada kata terlambat untuk mencari tahu siapa sebenarnya lelaki tua yang kemarin bertemu dengan Latifa. Maka, pagi itu juga Mak Rini menyuruh Latifa pergi ke rumah Salman untuk menemaninya mencari keberadaan orang-orang yang dulu telah berjasa besar dalam hidupnya. Dan sebagai seorang cucu yang patuh, Latifa pun tak keberatan meng-iya-kan permintaan neneknya. Segeralah Latifa berangkat ke rumah Salman yang tidak begitu jauh dari tempat tinggalnya.
"Assalamu'alaikum... Salman-nya sudah bangun, Pak?" tanya Latifa kepada ayahnya Salman yang kala itu sedang sibuk membersihkan halaman.
"Wa'alaikum salam..." jawab ayah Salman sambil memegang gagang sapu. "Eh, Nak Tifa... Salman sedang pergi ke pasar mengantar ibunya belanja." Sambung ayahnya Salman tanpa menanyakan perihal kedatangan Latifa mencari anaknya, Salman.
"Ya sudah... Nanti kalau sudah pulang, suruh datang ke rumah ya, Pak. Nenek ingin bicara." Pesan Latifa sebelum ia pamit untuk kembali ke rumah. "Aku pulang dulu ya, Pak. Assalamu'alaikum..."
"Wa'alaikum salam..." **
Putaran waktu baru beranjak siang. Mentari pun belum tepat berada di pertengahan hari. Namun suasana telah gelap oleh gumpal awan yang menghitam. Rupanya hujan akan kembali mengguyur bumi yang belum kering oleh siraman hujan semalam. Suara cempreng dari knalpot motor Salman memecah keheningan, memasuki pelataran rumah. Rupanya Salman telah kembali dari mengantar ibunya belanja di pasar.
"Man, tadi Latifa nyariin kamu." Ujar ayahnya sebelum Salman memasuki rumah. "Tadi Tifa bilang, neneknya ingin bicara dengan kamu." Penjelasan dari ayahnya soal Mak Rini yang ingin berbicara dengannya, membuat Salman tidak jadi menggerutu karena Latifa biasanya pasti ingin diantar ke suatu tempat jika mencarinya, meskipun cuaca sedang tidak mendukung.
"Ada apa ya, Mak Rini tiba-tiba ingin bicara padaku?" Dalam hati Salman bertanya-tanya, "jangan-jangan,.... Asyiikkk..." Sorak sorai hati Salman karena beku rasa yang tersimpan akan segera mencari di bawah mendung yang menghitam. Tanpa berpikir panjang, Salman langsung tancap gas menuju rumah Mak Rini.
"Kamu nggak makan dulu, Man!?" Seru ibunya tak lagi dihiraukan oleh Salman yang sudah tak sabar lagi merasakan lelehan rasa yang telah lama membeku.
Siang semakin gelap oleh tebal mendung yang hitam. Di antara rerimbun pohon dan jalanan berliku yang melewati pematang sawah, Salman mempercepat langkahnya menuju rumah Mak Rini. Ia tak menghiraukan tanah becek melumuri kaki dan juga celananya. Berharap ingin cepat sampai, ia rela menerobos jalan pintas di antara lekuk pematang yang menjulang panjang.
Nah, seperti apa kelanjutan cerita pada bagian pertama tersebut?
Yukk, kita intipin mereka dalam Mission Of The-Les Kebes 3, bag.2. di bawah ini.
Namun sebelumnya jangan lupa juga untuk membaca cerita-cerita sebelumnya dalam Mission of The-Les Kebes 1 dan Mission of The-Les Kebes 2.
MISSION OF THE-LES KEBES 3
(Misi Basah Kuyup)
Bag.2
(Misi Basah Kuyup)
Bag.2
Dalam ketegangan antara kedua belah pihak, seorang lelaki setengah baya datang menghampiri mereka. "Kenapa bertengkar di jalan, Nak?" Tanya lelaki itu sambil meletakkan karung lusuh yang dibawanya, ke tanah.
"Ini, Kek. Punggungku sakit tertusuk jarum yang nempel di tas-nya." Jawab Salman dengan segera.
"PRAAAKKK...!" Dengan sigap Latifa mendaratkan tas-nya ke kepala Salman.
"Sudah, sudah... Tidak usah bertengkar. Kalau ada masalah, selesaikan secara baik-baik." Tutur lelaki itu dengan bijak. Hal itu membuat Salman Dan Latifa terdiam.
"Sepertinya aku mengenali suara dari kakek ini." Latifa berkata dalam hati. Kemudian ia memperhatikan dalam-dalam raut muka si kakek yang ada di hadapannya itu. Lelaki tua itu menundukkan kepala.
"Kakek ini kapten Djack?" Tanya Latifa tiba-tiba, namun si kakek itu tetap menunduk tanpa menjawab pertanyaan Latifa. "Kek ... Kakek ini kapten Djack yang telah menyelamatkan aku dan nenekku waktu di pengungsian itu, 'kan?" Desak Latifa, "ini aku, Latifa, cucunya Mak Rini, Kek. Kenapa Kakek menunduk terus? Kakek nggak usah malu."
"Maaf, Non. Saya menunduk bukan karena malu. Tapi saya menunduk karena tertarik melihat anu-nya Non." Jawab lelaki tua itu, hingga menyebabkan sorot mata Salman segera mengarah ke suatu tempat. "Anu, Non, sandalnya yang sebelah tertukar dengan punya neneknya, ya?" Sambung lelaki tua itu.
Salman yang sedari tadi sudah mengetahui kalau sandal yang dipakai Latifa tertukar sebelah, ia hanya cekikikan sambil garuk-garuk kepala.
"Heh! Kenapa kamu tadi tidak bilang kalau sandalku yang sebelah tertukar dengan sandal nenek?" Bentak Latifa pada Salman.
"Salah kamu sendiri, kan? Kenapa tadi waktu aku domblong lihat penampilan kamu, malah kamu bilang aku nggak pernah lihat wanita cantik." Bantah Salman membela diri.
"Emmm ..." Latifa ingin melanjutkan percakapannya dengan lelaki tua yang ditemuinya itu, namun lelaki itu sudah pergi saat ia cekcok dengan Salman. Ia mengarahkan pandangannya ke segala penjuru, namun lelaki tua itu sudah lenyap bak ditelan bumi. "Kemana ya, kakek tadi?"
Setelah tengok kanan-kiri tak ada sesuatu yang berarti, akhirnya Latifa dan Salman memutuskan untuk pergi. Meski rasa penasaran masih berkecamuk dalam hati, namun Latifa tetap melanjutkan perjalanan ke kota. Saat kembali pulang, pun, rasa penasaran itu masih menyelimuti hati Latifa. Bahkan di saat melewati jalan di mana ia bertemu lelaki tua misterius tadi, pandangan Latifa selalu mengarah kesana kemari tiada henti. Namun nihil. Orang tersebut tak lagi dijumpai.
******
Malam kian larut. Suara binatang malam saling bersahutan mendendangkan irama malam. Kerlip kunang di antara semak dan dedaunan, menari bersama suara kepak sayap dan jerit kelelawar yang berusaha ikut menghias remang malam. Malam yang sangat mendebarkan, malam yang merangsang berdirinya seluruh bulu kuduk.Di sudut remang, seorang pemuda sedang duduk di sebuah bangku kecil di halaman rumahnya. Ia selalu terbayang oleh wajah gadis cantik yang diidamkannya. Meski sering bersama, bahkan sering cekcok dengannya, namun sebenarnya ia memendam rasa yang teramat dalam. Tetapi rasa itu selalu disembunyikannya. Pemuda itu takut persahabatannya dengan gadis itu akan hancur jika ia ungkapkan perasaannya, dan ternyata cintanya bertepuk sebelah tangan.
Dari segi usia, memang usia pemuda itu terpaut jauh dari gadis impiannya. Namun ia percaya jodoh ada di tangan-Nya. Usia tidak dapat membatasi cinta. "Biarlah kusimpan rasa ini. Kalau memang sudah jodoh, pasti dia akan kumiliki seutuhnya. Tapi kalaupun dia menjadi jodoh orang lain, aku harus tetap ikhlas, meski terasa sakit di sini." Gumam pemuda itu sambil mengelus dadanya yang mulai ditumbuhi bulu-bulu halus.
"KROSAAKKK..." Sebuah suara tak diundang datang mengacaukan suasana hayal Salman. Ia pun tergagap kaget dan segera lari masuk ke dalam rumah. Dari dalam rumah, remang-remang ia melihat sesuatu keluar dari semak-semak. "Ah, dasar kucing sialan!" gumamnya. "Ganggu orang melamun saja." *
Pagi yang dingin. Di sebuah bangku tua, Mak Rini duduk termangu di beranda rumah. Ia terpikir oleh cerita cucunya, Latifa, tentang lelaki tua yang ditemuinya. "Mungkinkah orang yang bertemu dengan Latifa itu benar kapten Djack?" Berbagai tanya muncul dalam benak hati Mak Rini. "Tapi, kenapa dia tidak mau menjawab pertanyaan Latifa?"
Tak ada kata terlambat untuk mencari tahu siapa sebenarnya lelaki tua yang kemarin bertemu dengan Latifa. Maka, pagi itu juga Mak Rini menyuruh Latifa pergi ke rumah Salman untuk menemaninya mencari keberadaan orang-orang yang dulu telah berjasa besar dalam hidupnya. Dan sebagai seorang cucu yang patuh, Latifa pun tak keberatan meng-iya-kan permintaan neneknya. Segeralah Latifa berangkat ke rumah Salman yang tidak begitu jauh dari tempat tinggalnya.
"Assalamu'alaikum... Salman-nya sudah bangun, Pak?" tanya Latifa kepada ayahnya Salman yang kala itu sedang sibuk membersihkan halaman.
"Wa'alaikum salam..." jawab ayah Salman sambil memegang gagang sapu. "Eh, Nak Tifa... Salman sedang pergi ke pasar mengantar ibunya belanja." Sambung ayahnya Salman tanpa menanyakan perihal kedatangan Latifa mencari anaknya, Salman.
"Ya sudah... Nanti kalau sudah pulang, suruh datang ke rumah ya, Pak. Nenek ingin bicara." Pesan Latifa sebelum ia pamit untuk kembali ke rumah. "Aku pulang dulu ya, Pak. Assalamu'alaikum..."
"Wa'alaikum salam..." **
Putaran waktu baru beranjak siang. Mentari pun belum tepat berada di pertengahan hari. Namun suasana telah gelap oleh gumpal awan yang menghitam. Rupanya hujan akan kembali mengguyur bumi yang belum kering oleh siraman hujan semalam. Suara cempreng dari knalpot motor Salman memecah keheningan, memasuki pelataran rumah. Rupanya Salman telah kembali dari mengantar ibunya belanja di pasar.
"Man, tadi Latifa nyariin kamu." Ujar ayahnya sebelum Salman memasuki rumah. "Tadi Tifa bilang, neneknya ingin bicara dengan kamu." Penjelasan dari ayahnya soal Mak Rini yang ingin berbicara dengannya, membuat Salman tidak jadi menggerutu karena Latifa biasanya pasti ingin diantar ke suatu tempat jika mencarinya, meskipun cuaca sedang tidak mendukung.
"Ada apa ya, Mak Rini tiba-tiba ingin bicara padaku?" Dalam hati Salman bertanya-tanya, "jangan-jangan,.... Asyiikkk..." Sorak sorai hati Salman karena beku rasa yang tersimpan akan segera mencari di bawah mendung yang menghitam. Tanpa berpikir panjang, Salman langsung tancap gas menuju rumah Mak Rini.
"Kamu nggak makan dulu, Man!?" Seru ibunya tak lagi dihiraukan oleh Salman yang sudah tak sabar lagi merasakan lelehan rasa yang telah lama membeku.
Siang semakin gelap oleh tebal mendung yang hitam. Di antara rerimbun pohon dan jalanan berliku yang melewati pematang sawah, Salman mempercepat langkahnya menuju rumah Mak Rini. Ia tak menghiraukan tanah becek melumuri kaki dan juga celananya. Berharap ingin cepat sampai, ia rela menerobos jalan pintas di antara lekuk pematang yang menjulang panjang.
BERSAMBUNG....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar