Cerita Pendek (Banget)
Memory Sebuah Tas Kresek
Ditulis Oleh: Djacka Artub
Berlari seorang anak kecil menuju sebuah rumah sederhana.
Tangan keriput wanita tua yang berdiri di depan pintu segera ia raih dan menciumnya. Dari mulut mungilnya, ia berucap, "Nek, tas Ricky bagus ya, Nek?" Sambil memperlihatkan tas yang menempel di punggungnya.
Sang Nenek 'pun tersenyum sambil membelai lembut cucunya.
"Wah ... Tasnya baru ya?" Ucap sang Nenek, "siapa yang membelikan? Papa, apa Mama?"
"Papa sama Mama" Jawabnya polos.
"Dari kemarin dia sudah menagih minta dibelikan tas baru, Bu, karena mendapat nilai bagus di sekolah. Tadi sekalian kami ajak mampir ke toko tas saat perjalanan ke sini." Menyusul dari belakang, sang Mama menyahut percakapan Nenek dan cucunya itu. Ia pun segera meraih tangan keriput Ibu mertua, lalu menciumnya. Tak ketinggalan, Andi 'pun turut mengikuti apa yang telah dilakukan oleh anak dan juga istrinya; Menyalami dan mencium tangan ibunda.
Di antara kelopak mata yang mulai merabun, bulir bening kristal mengalir, menetes dan membasah pada keriput pipi wanita tua itu. "Alhamdulillah, Ya Allah... Kini anakku telah menjadi seorang suami dan juga ayah yang bertanggung jawab." Ucap lirihnya. Ia teringat kembali peristiwa 25 tahun silam, Andi kecil berlari tanpa alas kaki ketika pulang dari sekolah. Di tangannya tertenteng tas kresek yang berisi buku tulis dan pensil. Tapi Andi tetap giat dan rajin bersekolah. Ia tak pernah malas untuk berangkat ke sekolah meski dengan segala keterbatasan fasilitas. Tanpa menggunakan sepatu dan tas sekolah seperti anak-anak lain pada umumnya.
"Ada apa, Bu? Kenapa Ibu menangis?" Mira memeluk Ibu mertuanya.
"Ibu bangga pada Andi, suamimu. Almarhum Ayahnya 'pun pasti bahagia di sana." Perlahan wanita itu melepaskan pelukan menantunya, "maafkan ayah dan ibu, Nak. Dulu ayah dan ibu tidak bisa membelikan sepatu dan tas sekolah buat kamu." Lanjutnya menahan kesedihan melihat Andi, anaknya.
"Sudah lah, Bu..." Andi menahan kata-katanya, "o'iya. Kemana keponakanku? Kok sepi?" Lanjut Andi mengalihkan ingatan ibunya tentang masa lalu keluarga yang begitu meprihatinkan.
"Tadi sudah berangkat mengaji, diantar ibunya."
Melihat gurat kesedihan masih terpancar dari keriput wajah sang ibu, Andi turut merasakan beban pikiran yang ada dalam hati ibunya. "Pengorbanan dan kasih sayang ibu terhadap aku, kakak serta adik-adikku sudah sangat besar, Bu. Dan sudah seharusnya aku tetap berterima kasih atas semua pengorbanan ayah dan juga ibu yang telah melahirkan, merawat dan membesarkanku."
"Dan berkat doa ayah dan ibu lah, kami bisa seperti ini, Bu." Timpal Mira menambahkan, dan hal itu membuat sang ibu tersenyum bahagia.
Memory Sebuah Tas Kresek
Ditulis Oleh: Djacka Artub
Berlari seorang anak kecil menuju sebuah rumah sederhana.
Tangan keriput wanita tua yang berdiri di depan pintu segera ia raih dan menciumnya. Dari mulut mungilnya, ia berucap, "Nek, tas Ricky bagus ya, Nek?" Sambil memperlihatkan tas yang menempel di punggungnya.
Sang Nenek 'pun tersenyum sambil membelai lembut cucunya.
"Wah ... Tasnya baru ya?" Ucap sang Nenek, "siapa yang membelikan? Papa, apa Mama?"
"Papa sama Mama" Jawabnya polos.
"Dari kemarin dia sudah menagih minta dibelikan tas baru, Bu, karena mendapat nilai bagus di sekolah. Tadi sekalian kami ajak mampir ke toko tas saat perjalanan ke sini." Menyusul dari belakang, sang Mama menyahut percakapan Nenek dan cucunya itu. Ia pun segera meraih tangan keriput Ibu mertua, lalu menciumnya. Tak ketinggalan, Andi 'pun turut mengikuti apa yang telah dilakukan oleh anak dan juga istrinya; Menyalami dan mencium tangan ibunda.
Di antara kelopak mata yang mulai merabun, bulir bening kristal mengalir, menetes dan membasah pada keriput pipi wanita tua itu. "Alhamdulillah, Ya Allah... Kini anakku telah menjadi seorang suami dan juga ayah yang bertanggung jawab." Ucap lirihnya. Ia teringat kembali peristiwa 25 tahun silam, Andi kecil berlari tanpa alas kaki ketika pulang dari sekolah. Di tangannya tertenteng tas kresek yang berisi buku tulis dan pensil. Tapi Andi tetap giat dan rajin bersekolah. Ia tak pernah malas untuk berangkat ke sekolah meski dengan segala keterbatasan fasilitas. Tanpa menggunakan sepatu dan tas sekolah seperti anak-anak lain pada umumnya.
"Ada apa, Bu? Kenapa Ibu menangis?" Mira memeluk Ibu mertuanya.
"Ibu bangga pada Andi, suamimu. Almarhum Ayahnya 'pun pasti bahagia di sana." Perlahan wanita itu melepaskan pelukan menantunya, "maafkan ayah dan ibu, Nak. Dulu ayah dan ibu tidak bisa membelikan sepatu dan tas sekolah buat kamu." Lanjutnya menahan kesedihan melihat Andi, anaknya.
"Sudah lah, Bu..." Andi menahan kata-katanya, "o'iya. Kemana keponakanku? Kok sepi?" Lanjut Andi mengalihkan ingatan ibunya tentang masa lalu keluarga yang begitu meprihatinkan.
"Tadi sudah berangkat mengaji, diantar ibunya."
Melihat gurat kesedihan masih terpancar dari keriput wajah sang ibu, Andi turut merasakan beban pikiran yang ada dalam hati ibunya. "Pengorbanan dan kasih sayang ibu terhadap aku, kakak serta adik-adikku sudah sangat besar, Bu. Dan sudah seharusnya aku tetap berterima kasih atas semua pengorbanan ayah dan juga ibu yang telah melahirkan, merawat dan membesarkanku."
"Dan berkat doa ayah dan ibu lah, kami bisa seperti ini, Bu." Timpal Mira menambahkan, dan hal itu membuat sang ibu tersenyum bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar