Semangat dalam Keterbatasan.
1992...
Mentari pagi tersenyum menyambut wajah ceria anak-anak desa.
Beberapa anak kecil berlarian kejar-kejaran menuju sebuah sungai di ujung desa.
Kala itu, sungai masih bersih dan asri dengan airnya yang jernih, membuat anak-anak betah bermain dan mandi di sana.
Setelah setengah jam kiranya, anak-anak kembali ke rumah masing-masing untuk bersiap berangkat ke sekolah.
Andi, salah satu diantara anak-anak desa itu juga bersiap berangkat ke sekolah setelah mandi bersama teman-temannya di sungai.
Namun saat berangkat ke sekolah, hanya Andi-lah satu-satunya murid yang tak memakai seragam sekolah. Bukan tanpa alasan, memang Andi hanyalah anak petani miskin yang hidupnya penuh kekurangan.
Ketika menginjak kelas dua Madrasah Ibtidaiyah (MI/setingkat SD), barulah Andi bisa memakai seragam sekolah. Tetapi bukan seragam baru. Melainkan seragam bekas dari kakaknya. Namun Andi tak pernah mengeluh. Andi sudah sangat senang bisa memakai baju seragam seperti temannya yang lain.
Di usianya yang masih kecil, Andi bisa mengerti keadaan orang tuanya.
Andi tetap semangat bersekolah meski tidak memakai seragam baru. Tanpa uang saku, terkadang juga tanpa sesuap nasi 'pun mengisi perutnya sebelum ia belajar.
Jika masih ada sisa nasi kemarin sore, ia meminta sang ibu untuk menggoreng nasi sisa tersebut. Andi sudah sangat bersyukur bisa sarapan sebelum berangkat ke sekolah. Namun jika tak ada sisa nasi untuk mengisi perut sebelum belajar, Andi tetap berangkat sekolah. Dan ketika waktu istirahat tiba, barulah ia pulang untuk makan. Dan itu pun jika ada yang di makan. Jika tak ada yang bisa di makan, Andi hanya minum air putih kemudian balik lagi ke sekolah.
1996 ....
Beberapa tahun kemudian, tibalah saat kelulusan. Andi sangat senang karena mendapatkan nilai yang bagus.
Namun ada satu masalah yang membuat Andi bersedih. Kepala sekolah saat itu menahan ijazahnya dan tidak akan memberikan ijazah itu apa bila ia tidak mau melanjutkan sekolahnya.
Mendengar hal itu, Andi sangat sedih karena ia tau bahwa melanjutkan sekolah memerlukan biaya. Dan ia juga sadar, tidak mungkin orang tuanya mampu membiayai. Karena saat itu kedua adiknya juga sedang sekolah.
Beberapa guru di sekolah tempat Andi belajar sangat menyayangkan jika ada salah satu muridnya hanya tamat sampai MI.
Melihat semangat belajar dalam keterbatasan yang dialami Andi, akhirnya kepala sekolah mengupayakan agar Andi bisa melanjutkan pendidikan ke sekolah berikutnya.
1999...
Andi tamat belajar di Madrasah Tsanawiyah (MTs). Namun semangatnya menempuh pendidikan di sekolah harus berakhir.
Setelah tamat dari MTs, tak ada lagi yang bisa dilakukan oleh Andi, selain harus merantau ke kota demi membantu orang tua.
Walaupun sebenarnya ia masih ingin melanjutkan sekolah, namun lagi-lagi keterbatasan biaya menjadi penghambat keinginannya.
Keinginan hanya sebatas keinginan. Andi rela mengubur keinginannya untuk terus melanjutkan sekolah. Ia ikut tetangganya merantau ke kota. Walaupun hanya kerja di sebuah kedai kaki lima, Andi sudah sangat bersyukur bisa memiliki penghasilan untuk membantu orang tua.
Seringnya membaca cerita fiksi yang terbit di sejumlah surat kabar, Andi menjadi berkeinginan untuk bisa menulis cerita fiksi. Namun lagi-lagi keinginannya itu hanya sebatas keinginan karena keterbatasan media. Andi hanya bisa menulis coretan-coretan cerita singkat di buku tulis.
Pada tahun 2009, Andi mulai mengenal dunia maya (internet). Saat itu yang dikenalnya sebuah media sosial bernama 'facebook'. Kemudian Andi mencoba menulis catatan-catatan kecil berupa puisi dan cerita singkat di dinding facebook miliknya. Namun lagi dan lagi, semangat Andi terkendala oleh keterbatasan teman facebook yang mendukungnya untuk menulis. Bahkan banyak yang membully, katanya, 'Cowok kok suka menulis cerpen'.
Pada 2013, dengan keterbatasan pengetahuan, Andi mencoba membuat akun blogger. Namun kembali lagi, keterbatasan alat menjadi kendala semangat untuk menulis di blog.
Hingga akhirnya ia menemukan sebuah platform blogging untuk ponsel.
Belajar secara otodidak, Andi mengutak-atik blognya hingga sedikit demi sedikit ia bisa mengelola blog barunya. Namun keterbatasan penguasaan bahasa dan pengalaman dalam kepenulisan, membuat Andi menjadi minder untuk meneruskan minat menulisnya di blog.
Pengalaman menulis di blog sangat berbeda jauh dengan menulis di facebook yang pernah dilakukan oleh Andi. Di blog, ia bisa kenal dengan para penulis lain dan banyak mendapatkan pelajaran 'Bagaimana cara menulis yang baik', dari orang-orang yang sudah lama menekuni dunia kepenulisan (dalam hal ini seorang blogger).
Dan tidak sedikit pula yang memberikan dukungan serta kritik dan saran atas tulisannya.
Kritikan dan dukungan tersebut dijadikan semangat oleh Andi yang penuh dengan keterbatasan penguasaan bahasa dan tata cara menulis yang baik dan benar. (Maklum saja, Andi hanya lulusan MTs. Jadi, ia kurang menguasai bahasa kepenulisan).
Hingga kini, Andi masih terus menulis di blognya. Terserah mau banyak yang suka atau pun tidak dengan tulisannya, ia tak berputus asa. Baginya, yang terpenting ia tetap menulis. Selain itu ia juga suka membaca tulisan-tulisan dari orang lain, dengan tujuan untuk belajar. Belajar cara menulis yang baik dari membaca para penulis senior.
Dalam catatan kecilnya, ia menulis, "Mungkin tidak ada yang menarik dari tulisan saya. Tetapi saya selalu tertarik untuk menulis.
Biar pun orang lain tak tertarik membaca tulisan saya, tetapi membaca tulisan orang lain selalu menarik bagi saya."
Keterbatasan memang tidak bisa membatasi semangat seseorang. Bahkan masih banyak orang-orang yang memiliki keterbatasan lebih dari kisah Andi di atas. Tetapi dengan semangatnya luar biasa, mereka pun bisa sukses dengan luar biasa pula.
"Sek bentar tak sawang sek"
BalasHapusMmm.. Begitu rupanya..!!
Sepertinya ini kisah nyata admin blog ini ya.
Keterbatasan bukan sebuah halangan melainkan sebuah tantangan yang seru untuk dimainkan.
Jika kita menikmati dan memerankan sebuah drama ini dengan baik, bukan tidak mustahil Sang Pencipta pasti melirik!
Ada banyak keajaiban yang akan muncul didepan orang2 yang menyukai sebuah tantangan. So, jadikan keterbatasan itu sebagai sebuah tantangan yang seru.
Sebagaimana Mbah Pocong yang selalu memberikan wejangan2 hidup di kuburan jarak Surabaya ketika masa silam.
So. Don't forget! Kita hidup ini hanya menumpang dibumi Alam. Namanya numpang pasti cuma sesaat. Seperti halnya sebuah rasa kopi yang melewati tenggorokan..!
Ya.. Seperti itulah kira..kira..
Emmm ... haha..
HapusYa, begitulah, sosok mbah pocong. Nasehat2nya di masa silam yang selalu aku ingat, bahwa kita hidup di dunia ini hanya seperti kita nongkrong di warung kopi. Terkadang kita bisa menikmati rasa kopi sambil melihat senyum manis si penjualnya. Terkadang pula kita juga disuguhi senyum sinis dari penjual kopi tersebut.
Dan kita di situ memang hanya sekedar numpang ngopi, ya kita harus menikmati kopi itu. Bukan menikmati senyumnya penjual kopi yg ada di kuburan jarak sana. Hahaha
Masih banyak Andi Andi yang lain, keterbatasan kadang memaksa seseorang untuk berhenti atau menunda langkah selanjutnya, semoga Andi menemukan cara untuk mewujudkan dan nelangkah menuju keinginan mencapai cita-citanya.
BalasHapusAamiin...
HapusMemang masih banyak orang2 yang hidup dalam keterbatasan bahkan melebihi kisah Andi di atas. Namun dengan semangatnya yang tinggi, mereka bisa sukses.
karena keterbatasannya itulah yang membuatnya selalu semangat. Hingga akhirnya dia bisa setara dengan yang normal bahkan mendahuluinya
BalasHapusBetul, Om...
HapusDari keterbatasannya itulah ia ingin menunjukkan bahwa ia bisa menyetarakan dengan yang lain.
Bentar... Bentar.. Ini si Andi, Andika 'bukan? Kalau ya, saya salut dan acungi 2 jempol. Karena keterbatasan tak mengurangi semangatnya untuk menjadi seorang penulis. Semoga catatan dari Andi tetap abadi dan bisa terus semangat menulis sampai akhir hayat nanti.
BalasHapusEmmm... bukan, ini bukan kisah Andika. Ini kisah si Andi. Kalau Andika sih, menjadi vokalis kangen band. Hahaha
HapusYa, semoga saja semangat si Andi untuk terus menulis tak pernah luntur.hehe