Lepas Kandas
"Memang ya, laki-laki itu tidak pernah peka terhadap perasaan seorang wanita!" Ucap Gea dengan nada keras. Lalu menyambar tas miliknya yang ia letakkan di atas meja. Kemudian Gea pergi tanpa menunggu aku menjawab pernyataannya.
****
Aku tak peduli meski berpuluh pasang mata menatapku dengan berbagai ekspresi. Sedikit dari mereka kemungkinan ada yang merasa iba. Tetapi kemungkinan lebih banyak ada yang turut memaki aku di malam itu. Namun aku tak peduli. Biarlah mereka meng-ekspresi-kan perasaan masing-masing. Kupanggil pelayan cafe dan kuserahkan beberapa lembar rupiah untuk membayar secangkir capuccino dan segelas lemon tea yang masing-masing masih utuh.
Aku melenggang keluar dari cafe tempat di mana aku mendapatkan berbagai cacian dan makian yang seakan tak mempunyai harga diri lagi sebagai laki-laki di muka umum. Aku kembali ke halte semula, awal aku bertemu Gea. Lalu-lalang angkutan kota sudah mulai sepi. Namun mobil-mobil pribadi dan motor-motor kang ojol masih banyak berseliweran di jalanan jantung kota Surabaya tersebut. 'Ku isap rokok dari batang ke batang_hingga entah berapa batang rokok filter yang aku habiskan untuk menetralkan pikiran yang sedang kacau dan terguncang.
Entah sudah berapa lama aku duduk di bangku halte untuk menunggu angkutan kota dengan trayek tempat tujuanku. Namun tak satupun yang lewat. Kulihat jam di pergelangan tanganku, waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. "Ah, pantas saja sudah sepi angkot," gumamku. Berbeda dari sebelumnya, beberapa tahun yang lalu sebelum banyaknya ojek dan taksi online, pukul 10 malam masih ramai angkutan kota yang beroperasi. Namun seiring berjalannya waktu, dimana semuanya serba online, pukul 6 petang sudah banyak angkutan kota yang sudah masuk kandang.
Meski terasa berat, kugerakkan kaki untuk melangkah dan berjalan di atas trotoar tepi jalan umum sambil menikmati keramaian kota. Terkadang 'Ku tendang bungkus-bungkus rokok yang dibuang sembarangan. Aku bersiul untuk menghibur diri dan melupakan yang baru saja terjadi. Berusaha melupakan seakan tak terjadi apa-apa.
Di bawah tiang lampu penerangan jalan umum, seorang wanita nampak berdiri sambil sesekali mengusap pipinya. 'Gea …', ucapku lirih. Aku mencoba mendekat. Kuangkat tangan berusaha menyentuh bahunya tetapi 'ku urungkan niat itu. Aku ragu. Aku takut Gea akan memakiku kembali. Di tempat umum, apalagi di jalanan, memang tidak pantas bagi orang waras untuk mengeluarkan atau mendapatkan kata-kata makian yang pedas. Namun aku sadar, Gea sedang dalam kendali emosi. Pasti umpatan dan makian itu akan keluar kedua kalinya untuk diriku di muka umum.
"Gea … " kuberanikan diri menyapanya pelan karena ragu. Namun anggapanku keliru. Aku mengira akan mendapatkan makian untuk yang kedua kalinya, tetapi tidak. Gea memelukku erat. Kurasakan tetes demi tetes hingga bahuku terasa basah. Rasa bahagia sekaligus khawatir menyelimuti perasaanku. Aku merasa bahagia karena Gea sudah dapat mengontrol emosinya. Namun juga khawatir jika saja ada yang melihatku sedang bersama wanita lain dan kemudian mengadukan kepada istriku. 'Ah, masa bodoh!' kata hatiku.
Gea masih memelukku ketika sebuah mobil berwarna merah metalik berhenti di tepi jalan, tepat di samping kami berdiri berpelukkan. Isak tangis Gea terdengar semakin keras di telingaku. Aku berusaha melepaskan pelukannya. Namun Gea justru semakin meng-erat-kan rangkulan tangannya. "Maafkan aku, Say," ucap Gea di antara Isak tangisnya. Aku menepuk punggungnya pelan, "Sudah lah, Gea," ucapku lirih.
Perlahan Gea melepaskan rangkulannya. Ia menatapku lekat-lekat. "Aku harus kembali ke Jakarta malam ini juga, Say," Gea berkata dengan sesenggukan.
"Tidakkah bisa ditunda untuk beberapa hari lagi, Say?" Pintaku kepadanya,
"Awal niat kedatanganku ke Surabaya memang untuk menemui kamu untuk beberapa hari. Tetapi keadaan sudah lain. Jadi sebaiknya aku harus segera kembali ke Jakarta sekarang juga." Jawabnya. "Maaf jika aku mengganggumu." Pungkasnya kemudian.
"Hmmmmm,..." Kuhela nafas, kulepas dan aku ikhlaskan kepergian Gea bersama taksi online yang sudah dipesannya untuk mengantarkan dia ke bandara.
Kusandarkan kepala pada tiang lampu penerangan jalan umum_kutatap lampu-lampu jalan yang benderang menerangi malam.
Lepas dan kandas.
****
SAMPAI DI SINI DULU YA,..
Baca selengkapnya di
Tidak ada komentar:
Posting Komentar