Sayang
"Mas sudah pulang?" Suara wanita terdengar pelan dari arah belakang. Aku hanya duduk dan diam di ruang depan rumah kontrakan yang aku tempati bersama istri dan anakku yang masih berusia limabelas bulan.
Karena aku memang sering pulang larut malam, maka aku membawa kunci cadangan rumah kontrakan. Aku tidak ingin mengganggu istriku yang sedang menidurkan putri kami yang masih balita. Lagipula kasihan sama si kecil bila harus lepas dari pelukan ibunya hanya karena sang ibu hendak membukakan pintu untukku. "Kok tidak membangunkan aku, mas, kalau sudah pulang?" Tanya istriku lagi. Aku masih tak menjawab.
"Gea sudah tidur?" Tanyaku kemudian,
"Gea? Siapa Gea?" Jawab istriku balik bertanya,
"Eh, anu … " aku agak gugup, "maksudku Della, putri kita."
"Oh,... Sudah. Barusan malah." Istriku menjawab seperti tanpa curiga dengan ucapanku yang salah menyebut nama anakku sendiri. "Tadinya dia rewel terus," imbuhnya.
Sejenak aku berpikir, 'apakah benar kata orang-orang, bahwa anak kecil itu perasaannya sangat peka?'
Ah, semoga saja istriku tidak berpikir macam-macam dan menghubungkan soal nama yang baru saja kusebut dan anakku yang rewel tadi.
"Pulangnya kok sampai larut malam, mas?" Sambil menyiapkan teh hangat, istriku kembali bertanya.
"Tadi masih ada sedikit kerjaan, sama mandor disuruh menyelesaikan sekalian," jawabku beralasan, "lagipula besok lusa kan proyek sudah mau pindah ke tempat lain." Lanjutku menjelaskan.
"Oh,..." jawab istriku sambil berjalan menghampiri aku yang tetap tak bergeming dari tempat dudukku. "Ini tehnya, mas." Istriku turut duduk di sebelahku setelah menyodorkan segelas teh hangat yang baru saja ia buat. Lesung pipitnya terlihat manis sekali tatkala ia tersenyum menatapku.
"Capek ya, mas?" Sambil memijit pahaku, ia menyandarkan kepalanya ke bahuku. Harum rambutnya menyeruak masuk ke dalam indra penciumanku dan kurangkul dia yang selalu manja ketika aku berada di sampingnya.
"Besok malam saja ya, Dik, malam ini aku capek sekali." Kataku setelah mencium rambutnya.
"Janji ya," balasnya manja dan kusambut dengan senyuman.
"Sekarang kamu temenin Della bobok dulu, nanti aku menyusul setelah menghabiskan teh ini." Perintahku kemudian, dan ia pun segera menuruti.
Malam ini perasaanku benar-benar kacau. Kejadian yang baru saja aku alami di luar sana sangat mengganggu pikiranku. Gea yang sangat cantik dan berkulit bersih tentu tidak ada seorang pria 'pun yang tidak tertarik kepadanya. Akan tetapi istriku juga tidak kalah cantik meskipun kulitnya tak seputih kulit Gea. Istriku berkulit sawo matang dan cantik natural. Apalagi ditambah dengan lesung pipitnya yang membuat ia terlihat manis sekali kala tersenyum. Istriku keturunan pribumi (Jawa), dan Gea berdarah Tionghoa. Jadi wajar saja jika antara istriku dan Gea memiliki warna kulit yang berbeda.
Waktu sudah menunjukkan pukul 01 dini hari. Aku segera menyusul ke kamar. Istri dan anakku sudah tertidur pulas. Kuperhatikan wajah-wajah polos mereka, dan pertempuran batin semakin terguncang hebat. Aku tidak mau kehilangan mereka berdua, tetapi bayangan wajah Gea 'pun selalu mengganggu pikiranku. Andai saja aku dapat mempersatukan semuanya, tentunya aku akan lebih bahagia lagi. Namun 'Sayang' kehadiran Gea hanya sekejap mata berkedip.
'Ah, berpikir apa sih aku ini?' aku menepis semua serangan batin yang sedang melanda. Lagipula tidak mungkin aku akan meninggalkan istri dan anakku demi Gea. Gea sudah pergi dan tidak ada jejak yang ditinggalkan untukku, semisal nomor kontak yang dapat aku hubungi.
Aku berbaring bersebelahan dengan kedua orang yang sangat aku cintai. Khayalan demi khayalan terus menerus kutepis dengan segala ke-tidak mungkinan bakal terjadi.
"Mas belum tidur?" Sapa istriku dengan suara agak serak parau, "ini sudah larut malam loh. Dan besok 'kan mas harus cari nafkah lagi buat kami berdua," lanjutnya.
"Besok kan hari Minggu, Sayang,..." Jawabku kemudian, lalu kucubit hidung istriku.
"Oh iya, hehehe,..." Balasnya dengan tersenyum, "eh, tumben panggil aku dengan sebutan 'Sayang' ?" Istriku bertanya heran, ia mengernyitkan dahinya.
"Eh … eng…, anu," aku agak gugup karena keceplosan, "em,.... memangnya tidak boleh jika aku memanggil istriku dengan sebutan 'Sayang' ?" Kilahku, karena memang sejak pacaran baru pertama kali ini aku memanggilnya 'Sayang', dan itu pun tanpa sengaja karena sebutan panggilan tersebut biasanya aku gunakan untuk Gea. Kalau sama istriku biasanya aku memanggilnya dengan sebutan 'Dik' atau 'Adik'.
"Ya nggak papa sih,..." Balas istriku, "tapi tidak biasanya loh," lanjutnya, "atau jangan-jangan … " lanjutnya lagi.
"Udah ah, jangan berpikiran macam-macam." Sergahku, agar istriku tidak curiga. "Udah, sekarang kita tidur saja. Besok 'kan aku libur kerja, kita ajak Della jalan-jalan." Pungkasku kemudian.
"Heleh,.. paling-paling cuma jalan-jalan di tugu pahlawan," ejek istriku,
"Ya,... Tapi 'kan di sana banyak benda-benda peninggalan pada zaman perang melawan penjajah pada waktu dulu. Kita bisa mengenalkan sejarah pada anak kita sejak dini."
"Uluh,.. uluuhh,... Sok bijak."
Suasana pagi sangat begitu cerah. Secerah wajah-wajah orang yang sangat aku cintai. Aku mengajak istri dan anakku tercinta untuk jalan-jalan ke monumen tugu pahlawan Surabaya. Banyak sekali peninggalan-peninggalan sejarah perang melawan penjajah yang tersimpan di museum yang ada di sana. Meski sudah sering aku ajak mereka berkunjung ke monumen tugu pahlawan, anakku suka sekali bermain di sana dengan ditemani oleh sang ibunda. Aku hanya menunggui mereka dari kejauhan. Melihat mereka asyik bermain dan bahagia, aku pun turut merasakan kebahagiaan itu. Sejenak kulupakan pertemuanku dengan Gea.
****
SEKIAN DULU YA,...
Baca selengkapnya di
Bab 1 - Bab 2 - Bab 3 - Bab 4 - Bab 5 - Bab 6 - Bab 7 - Bab 8 - Bab 9 - Bab 10
Ada aroma2 bakal terjadi punya dua istri nih hehe..
BalasHapusMemang pesona belah dagu Gea tak kan terlupakan, haha..
Hahaha,... Memang sampean tau dari mana kalau Gea memang punya belah dagu, kang? 😂😂
HapusDan kulitnya yg putih bersih membuat sulit untuk melupakannya. Wkwkwkwk